Gangguan Tak Kasat Mata di Rumah Tua (Bag.2)
Berbagai kejadian aneh yang dialami oleh sekelompok mahasiswa yang sedang KKN di desa terpencil itu kini memasuki paruh cerita. Mereka tidak tahu bahwa kengerian yang sebenarnya baru akan mereka alami. Kejadian yang akan menguras tenaga dan emosi mereka.
Bagi anda yang belum membaca cerita sebelumnya silahkan klik di sini. Dan bagi anda yang telah membaca keseruan cerita di bagian pertama bisa menyimak kelanjutan cerita 'Gangguan Tak Kasat Mata di Rumah Tua Bagian 2' di sini. Selamat membaca.
Setelah kejadian tengah malam yang menggegerkan itu, aku jadi merinding setiap kali hendak ke belakang. Bahkan Maya sampai minta ditemani setiap mau ke toilet atau untuk sekedar cuci piring.
Aku harap setelah adanya kejadian itu Emil, Anis, dan Anti bisa lebih menjaga sikapnya. Esoknya, Devi, anak salah satu warga desa, datang ke rumah. Ternyata Rere yang mengundangnya karena dia penasaran pada penunggu rumah tua yang kami tempati.
Kebetulan Devi punya kemampuan untuk melihat makhluk-makhluk gaib. Sebenarnya aku tak begitu peduli dengan penunggu rumah tua ini selama mereka tidak menggangguku. Akan tetapi, rasa penasaran pun membuatku ikut mendengarkan obrolan Rere dan Devi.
"Jadi, ada berapa banyak sih Dev yang tinggal di rumah ini?" tanya Rere.
"Banyak banget, Mbak" jawab Devi. "tapi Mbak nggak usah takut. Soalnya yang tinggal disini pendatang semua."
"Maksudnya gimana Dev?" tanyaku. Aku tak mengerti apa yang dia maksud.
"Jadi begini, makhluk-makhluk gaib yang tinggal di sini bukan penunggu rumah ini. Jadi mereka semacam tamu gitu. Makanya saya bilang, Mbak nggak usah takut. Soalnya mereka nggak punya pemimpin."
"Mereka nggak berbahaya. Paling cuma iseng-iseng aja. Beda kalau mereka semua asli sini, pasti punya pemimpin. Dan kalau ada pemimpinnya, mereka akan lebih berani lagi," tutur Devi.
Aku dan Rere manggut-manggut mendengarkan penjelasan Devi. Setidaknya kami jadi sedikit lebih lega mendengarnya.
Dua hari kemudian...
Setyo mendadak datang ke rumah dan mengajak kami untuk rapat membahas proyek kami selama ini. Nampaknya ada sesuatu yang ingin Setyo sampaikan mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB.
Tidak biasanya Setyo mengajak rapat malam-malam begini. Biasanya dia justru berpesan agar kami segera tidur sehingga esoknya bisa fit saat mengerjakan proyek.
Benar saja. Usai membahas proyek kami, Setyo menarik nafas dalam sebelum akhirnya menatap ke arah Emil. Dia mengeluarkan semua keluhannya terhadap ketidak-disiplinan Emil selama ini. Emil hendak membantah Setyo, tapi Setyo terus bicara sehingga Emil akhirnya terdiam mendengarkan.
Emil menundukkan kepalanya. Dia terdiam, tak memberikan reaksi apapun hingga Setyo selesai bicara. Ada yang aneh.
Tiba-tiba saja Emil mendongakkan kepalanya sambil tertawa ala Kuntilanak. Kami pun terkejut dan spontan bergerak mundur menjauhi Emil. Hanya Anis dan Anti yang masih setia duduk di samping Emil.
Anti menggoyang-goyangkan pundak Emil, berusaha untuk menyadarkannya. Namun, Emil justru tertawa semakin keras sampai akhirnya tubuhnya mengejang dan menggelepar-gelepar di lantai rumah tua.
Matanya melotot dan bergerak kesana kemari. Kami bingung tak tahu harus berbuat apa. Setyo terlihat cemas dan merasa bersalah. Anti dan Anis bergerak mundur menjauhi Emil yang semakin menjadi. Ya, Emil kesurupan di rumah tua ini.
Aku segera maju menghampiri Emil dan menahan tangannya yang bergerak kemana-mana. Dito dan Eza membantuku menahan badan dan kaki Emil yang masih menggelepar-gelepar.
Tenaga Emil seolah telah meningkat berkali-kali lipat, kami dibuatnya kewalahan. Bahkan Dito yang bertubuh besar dan kekar pun hampir saja terjungkal. Kuminta Setyo dan yang lain untuk minta bantuan pada warga.
Aku, Dito, dan Eza tetap menahan Emil yang masih kesurupan. Kubacakan ayat kursi dan doa-doa lainnya ke telinga Emil. Kutekan telapak tangannya sambil terus membaca ayat kursi. Tiba-tiba dia berteriak kencang lalu tak sadarkan diri.
Akhirnya kami bisa menarik nafas sejenak. Menahan Emil yang kesurupan di rumah tua itu benar-benar telah menguras tenaga kami.
Malam itu kami benar-benar tak menyangka bahwa Emil akan kesurupan. Jika tak kami hentikan, mungkin kakinya akan mengenai kaca aquarium yang dibawa Setyo untuk proyek kami.
Setyo berdiri mematung melihat badan Emil yang menggelepar-gelepar di lantai. Dia tak bisa berkata apa-apa. Wajahnya terlihat cemas. Mungkin Setyo berpikir kesurupan itu terjadi karena dia menekan Emil atas sikapnya yang tak bertanggung jawab selama kami mengerjakan proyek.
Akhirnya Emil tak sadarkan diri. Kuminta Adhi dan Dito untuk membawanya masuk ke dalam kamar. Tak lama, Pak Zen datang bersama seorang laki-laki paruh baya. Laki-laki itu meminta segelas air, lalu membacakan doa-doa ke air tersebut.
Setelah selesai dibacakan doa, laki-laki itu meminta kami untuk meminumkan air itu pada Emil. Tak ada yang berani melakukannya. Mau tak mau, aku lah yang melakukannya.
Aku masuk ke kamar Emil, lalu mencoba meminumkannya padanya. Namun, Emil menutup mulutnya rapat-rapat dan menolak meminumnya. Kupaksa dia untuk minum, tapi dia segera menyemburkan air tersebut sehingga tak ada air yang berhasil dia telan.
Beberapa menit kemudian, laki-laki paruh baya itu meminta Emil dibawa ke ruang tengah. Anis dan Anti membantu Emil berjalan menuju ruang tengah lalu membaringkannya di dipan yang ada di ruang tengah.
Emil terlihat lemas. Wajahnya pucat dan kakinya sangat dingin. Setyo berdiri di samping pintu sambil terus menatap ke arah Emil. Kudekati dia lalu kukatakan padanya bahwa semua ini bukan salahnya. Dia hanya mengangguk sambil tetap menatap ke arah Emil yang terbaring.
Pak Zen dan laki-laki paruh baya yang datang bersamanya duduk dekat dipan tempat Emil terbaring. Laki-laki itu lalu menyentuh tangan Emil sambil komat-kamit. Entah apa yang dia baca. Seketika itu juga, Emil tiba-tiba berteriak kesakitan sambil menendang-nendangkan kakinya.
Kami hendak menahannya, tapi laki-laki itu segera menghentikan kami dan meminta untuk membiarkan Emil begitu saja karena hal tersebut hanya akan membuat kami lelah dan menguras energi.
Tak lama, Emil pun mulai tenang dan terdiam. Lalu, perlahan Emil bangun dan duduk di atas dipan sambil menatap laki-laki paruh baya itu. Matanya melotot sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah laki-laki itu.
"Kowe ojo wani-wani karo putuku (Kamu jangan berani-berani sama cucuku)!" ucap Emil dengan nada yang berbeda dari biasanya dia bicara.
Kami semua terkejut mendengarnya. Laki-laki paruh baya itu bertanya siapa dia. Emil pun menjawab bahwa dia adalah nenek Emil yang sudah lama menjaganya. Dia berkata bahwa dia datang untuk membantu cucunya yang sedang kesulitan.
Dia tak akan pergi dari situ sampai cucunya benar-benar aman. Laki-laki paruh baya itu pun terus melanjutkan negosiasinya dengan jin yang merasuki tubuh Emil. Negosiasi yang terjadi antara laki-laki paruh baya itu dengan jin penjaga warisan nenek moyang Emil itu pun berlangsung cukup lama sampai akhirnya jin itu keluar dari tubuh Emil.
Aku duduk bersama Ayu dan Maya di ruang depan. Kami benar-benar lelah dengan apa yang kami alami di rumah tua ini. Ditambah lagi dengan Emil dan jin penjaga warisan nenek moyang-nya. Pantas saja aku merasa ada yang aneh selama ini dengan sikap Emil.
Kami pun memutuskan untuk mengacuhkan apa yang akan diperbuat Emil. Biarlah dia berbuat sesuka hatinya. Kami hanya perlu bersabar sampai proyek kami selesai. Nova dan Rere menyusul kami ke depan lalu duduk di sampingku. Aku yakin mereka pun merasakan hal yang sama. Mereka pun lelah atas semua yang menimpa kami.
Malam berikutnya, kami menghadiri lomba dan pentas seni yang merupakan rangkaian dari acara sedekah bumi yang diadakan di desa. Acaranya sangat meriah, tapi entah kenapa kami tak begitu bergairah mengikutinya.
Aku, Ayu, Nova, Maya, dan Rere akhirnya memutuskan untuk pulang, sementara Emil, Anis, dan Anti masih asyik melihat pentas seni bersama para pemuda desa. Kami duduk-duduk di depan rumah sambil menikmati indahnya malam di pedesaan.
Aku melihat sosok Devi berjalan menuju rumah tua yang kami tempati. Dia tersenyum ke arahku. Aku pun membalas senyumannya. Devi memang sering mengunjungi kami untuk berbincang-bincang atau sekedar menyapa kami.
Rere yang paling antusias dengan kedatangan Devi karena kemampuan indera ke enam yang dimiliki Devi. Rere seringkali menanyakan tentang kehidupan percintaannya kepada Devi.
"Mbak, tadi pas kalian semua pulang dari pentas seni ada yang ngikutin kalian" kata Devi.
"Siapa?" tanya Nova.
"Nenek-nenek. Tapi dia Cuma sampai di depan situ. Dia takut sama penunggu rumah tua ini," jawab Devi.
Aku, Ayu, dan Maya hanya tersenyum. Kurasa apa yang ada di pikiran kami sama. Pasti lah nenek-nenek itu adalah jin penjaga warisan nenek moyang Emil. Lama-lama kami pun terbiasa dengan kejadian-kejadian aneh yang menimpa kami. Biarlah, selama kami tak menganggu mereka, mereka pun tak akan mengganggu kami.
Rere dan Nova pun mengalihkan pembicaraan. Aku tersenyum melihat mereka. Mereka berdua lah yang paling penakut di antara kami. Lagi-lagi Rere bertanya tentang kehidupan percintaannya pada Devi.
"Biarin aja Dev, nggak usah dijawab," kataku menggoda Rere.
"Ih kok gitu. Kan aku pengen tahu," rengek Rere.
"Hahaha… Mbak Putri nih. Mentang-mentang sudah tahu," kata Devi sambil tertawa.
"Hah? Sudah tahu apaan?" tanyaku tak mengerti.
"Haleh... Sok nggak tahu. Mbak juga seperti aku, kan?" jawab Devi sambil tersenyum menggodaku.
Aku pun membalas senyumannya sambil menikmati kebersamaan kami di hari-hari terakhir menjelang kepulangan kami ke daerah asal kami masing-masing. Sebentar lagi proyek kami selesai. Ya, akhirnya...
Demikianlah akhir dari cerita horor misteri berjudul 'Gangguan Tak Kasat Mata di Rumah Tua'. Dari cerita yang cukup panjang ini kita bisa mengambil hikmah bahwasanya kita hidup di dunia ini berdampingan dengan makhluk-makhluk lain yang tak kasat mata. Karenanya, kita harus saling menghormati dan tidak mengganggu satu sama lain. Salam Rahayu.