7 Tahun Menderita Akibat Santet Tanah Karo
Cerita misteri kali ini mengisahkan tentang perjuangan seorang wanita, sebut saja namanya Bunga, agar terlepas dari pengaruh ilmu hitam dari tanah Karo. Ya, Bunga telah 7 tahun menderita akibat santet Tanah Karo.
Sudah 19 dukun sakti dan kyai pernah mencoba untuk mengeluarkan 3 makhluk gaib yang bersemayam dalam tubuhnya tapi semuanya gagal. Penderitaannya akhirnya berakhir seleah ia membangun rumah tangga sendiri.
Dan inilah kisahnya, penderitaan yang harus dilaluinya selama 7 tahun akibat keganasan ilmu santet dari dukun Batak paling sakti. Seperti biasa di penghujung tulisan akan kami berikan nasihat dan hikmah yang dipetik dari kisah nyata misteri ini.
Kisah ini bermula saat keluargaku pindah ke lingkungan Pondok Batuan, Tanjung Sari kota Medan. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 2000. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Di sekolah, aku dipercaya sebagai sekretaris OSIS karena aku memang suka berorganisasi.
Setelah 2 minggu tinggal di Tanjung Sari, aku berkenalan dengan seorang tetanggaku, sebut saja Kak Fani, yang kemudian menjadi saudara angkatku. Saat itu Kak Fani sudah duduk di bangku kelas 2 SMU.
Suatu hari Kak Fani mengajakku bergabung di Remaja Masjid di lingkungan kami, yaitu Ikatan Remaja Masjid (IRMA) Al Ikhlas. Aku mengikuti ajakannya dan malam Rabu itu, aku sudah resmi menjadi anggota IRMA. Aku pun berkenalan dengan para anggota IRMA yang lain.
Sudah menjadi tradisi di IRMA jika ada anak perempuan yang menjadi anggota, maka anggota laki-laki berusaha merebut hatinya. Termasuk juga aku. Baru saja menjadi anggota IRMA, malam itu aku sudah diantar pulang ke rumah oleh banyak anak laki-laki.
Aku layaknya kembang desa. Setiap pulang dari masjid, anak laki-laki banyak yang mencoba mencari perhatian dengan mengantarku pulang ke rumah. Namun aku tak menggubris mereka.
Di antara anak laki-laki yang mencoba mengambil hatiku, ada seorang pemuda yang sebut saja namanya Wawan. Ternyata, diam-diam Wawan telah jatuh cinta kepadaku.
Wawan memang anak orang terpandang. Ayahnya adalah mantan pejabat di salah satu instansi pemerintah. Tapi dari rumor yang beredar, ibunda Wawan yang bahkan sudah pernah haji justru bersekutu dengan setan. Ibunya Wawan yang kerap dipanggil Bu Haji ini kebetulan adalah teman pengajian mamaku.
Sejak saat itu, sudah 4 kali Wawan mengirim surat cinta padaku. Aku kaget bukan kepalang. Dia yang seharusnya menjadi sosok kakak karena usianya yang jauh lebih tua ternyata memiliki maksud lain.
Aku pun menolaknya. Bukan karena aku tak menyukainya, tetapi usiaku saat itu masih terlalu dini untuk mengenal cinta. Ya, saat itu aku baru berusia 15 tahun.
Rupanya ketertarikan Wawan padaku telah diketahui ibunya. Suatu hari, Bu Haji memberikan makanan berupa gulai ikan kakap ke rumahku. Awalnya tak ada perasaan curiga sedikitpun dari kami sekeluarga. Kami juga tidak menaruh curiga ketika Bu Haji berkali-kali membawakan makanan ke rumahku.
Anehnya, seminggu setelah pemberian makanan dari Bu Haji yang terakhir, aku justru sering teringat dan membayangkan sosok Wawan. Pemuda yang semula kubenci itu entah kenapa membuatku selalu ingin bertemu dengannya.
Seminggu kemudian, Wawan menyatakan perasaannya lagi padaku melalui sepucuk surat. Kali ini, aku tak bisa menolaknya. Seluruh hati dan pikiranku seolah sudah dipenuhi olehnya. Sejak saat itu Wawan sering menghubungiku. Bahkan hampir setiap malam menelponku.
Tapi aku tetap berpendirian agar jangan sampai keluargaku tahu hubungan kami karena usiaku masih belia. Untuk menerima telepon dari Wawan pun aku harus sembunyi-sembunyi. Aku terpaksa tidur di kamar belakang agar dapat menerima setiap panggilan telepon darinya.
Karena rasa cintaku yang membuncah pada Wawan, kegiatan belajarku pun mulai terganggu. Orangtuaku tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Saat kelulusan SMP, prestasiku benar-benar menurun. Biasanya aku ranking pertama, sekarang turun ke ranking tiga.
Mama mulai merasa curiga dan berusaha mencari tahu sebabnya. Saat itu mama sangat berharap aku bisa diterima di SMA favorit di kota ini, yaitu SMUN 1 Medan. Aku pun menceritakan perasaan cintaku ke Wawan pada mama. Mendengar pengakuanku, mama sangat terkejut dan tentu saja menentang keras.
Sejak itu ponselku disita mama. Aku dipingit, tidak diperbolehkan keluar dari rumah tanpa pengawalan dari orang tua. Sementara itu, Wawan dan ibunya akhirnya tahu sikap kedua orang tuaku. Rupanya Bu Haji merasa dendam dengan keputusan kedua orangtuaku.
Suatu hari, melalui perantara temannya, Wawan menyampaikan surat yang isinya adalah memutuskan hubungan kami. Mendengar keputusannya yang tiba-tiba, aku sangat terkejut. Hatiku terasa hancur.
Padahal hubungan kami saat itu hanya seperti cinta monyet. Tapi entah kenapa saat itu aku seperti telah kehilangan orang yang paling berarti dalam hidupku. Aku selalu teringat dengannya. Lebih parah, aku jadi terbiasa meninggalkan shalat. Aku juga mulai kehilangan gairah untuk hidup.
Semua keluargaku, termasuk Kak Fani, merasa heran dengan keadaanku. Kedua orangtuaku mulai merasa curiga, mereka lalu membawaku ke orang pintar di kawasan Polonia, Medan.
Menurut paranormal tersebut, aku terkena daya pelet. Setelah meminum air putih yang telah dijampi-jampi, keadaanku berangsur-angsur membaik. Aku pun mulai dapat melupakan Wawan.
Kupikir segalanya telah berakhir dan aku dapat memulai hidup yang baru. Ternyata aku salah...
Tanpa disangka, saat perayaan ulang tahunku yang ke-17, Wawan dan Bu Haji muncul sebagai tamu tak diundang dalam pesta itu. Wawan memberikan kue ulang tahun untukku. Sedangkan Bu Haji memberi hadiah berupa bahan kain dan satu gelang perak.
Karena khawatir terjadi hal buruk ke depannya, semua pemberian itu tak kusentuh. Kue pemberian Wawan diberikan kepada orang lain. Sedangkan bahan kain untuk membuat baju dan gelangnya dibakar oleh kedua orangtuaku.
Saat aku menginjak kelas 3 SMU, aku akrab dengan Rino, seorang siswa yang merupakan anggota band di sekolah. Benih-benih cinta pun tumbuh. Mungkin karena itu, aku jadi semangat dan termotivasi belajar.
Rupanya hubunganku dengan Rino tercium oleh ibunya Wawan. Wanita yang akrab disapa Bu Haji ini kembali membuat ulah. Dan kali ini ia dibantu dukunnya.
Akibatnya, aku sering jatuh pingsan di sekolah. Sudah tak terhitung berapa kali aku mengalami hal ini. Aku bahkan pernah dibawa pihak sekolah ke salah satu rumah sakit di kota Medan untuk diperiksa. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan aku tidak mengidap penyakit apapun.
Karena kejadian ini, mama kembali mengajakku ke tempat Pak Harahap, paranormal yang dulu pernah menyembuhkanku dari ilmu pelet Wawan. Pak Harahap bilang, aku kembali terkena pelet.
Menurut dia, peletnya itu berasal dari makanan, pakaian, juga benda-benda lainnya yang aku terima dari si pengirim pelet melalui perantara orang lain. Tapi syukurlah saat itu Pak Harahap kembali menyembuhkanku.
Setelah kelulusan SMA, aku berpisah dari Rino. Dia melanjutkan kuliah di UGM, Yogyakarta. Sedangkan aku diterima di salah satu Universitas Negeri di kota lain.
Saat perkuliahan telah menginjak semester 2, aku sering kerasukan makhluk halus. Awalnya, pada suatu malam aku melihat sosok kuntilanak yang sedang berjalan di depan kamarku.
Keesokan paginya, aku menemukan kotoran manusia persis di sebelah jendela kamar. Nampaknya ada yang sengaja meletakkannya di sana. Tapi aku tak menaruh curiga siapa yang melakukannya dan tak mau ambil pusing.
Pukul 2 siang, aku kerasukan. Saat itu pikiranku tertuju pada sosok Wawan. Anehnya, menurut cerita keluargaku, saat tak sadarkan diri aku tertawa seperti kuntilanak. Bahkan aku terkadang berbicara dalam bahasa Cina yang tak bisa dipahami.
Beberapa hari setelahnya aku bertingkah seperti seekor ular. Memang, sebelum kerasukan itu aku seperti melihat seekor ular berwarna hijau dan berukuran panjang. Tak hanya itu, di waktu yang lain aku juga mengeluarkan suara Begu Ganjang, hantu khas Tanah Karo. Sangat menakutkan sekali.
Sejak saat itu hari-hariku ditemani kerasukan makhluk halus. Aku bahkan sempat divonis salah satu anggota keluargaku telah menderita penyakit saraf.
Suatu hari setelah Idul Fitri, aku bersilaturrahmi ke rumah nenek di bilangan Tanjung Mulia, kota Medan. Dan disana aku kembali diganggu makhluk gaib tersebut.
Untungnya nenekku punya pegangan ilmu gaib. Saat keluargaku turun dari mobil, aku tidak bisa keluar dari mobil. Badanku terasa sangat berat, bahkan untuk sekedar berjalan. Sepertinya, makhluk-makhluk gaib itu tahu kalau aku akan singgah di rumah orang yang berilmu tinggi.
Papa pun menggendongku. Anehnya, saat memasuki rumah nenek, menurut cerita keluarga tiba-tiba aku tertawa cekikikan seperti kuntilanak. Nenek yang paham keadaanku mencoba berkomunikasi dengan makhluk yang bersemayam dalam tubuhku.
Beginilah cerita yang dituturkan mama kepadaku saat itu :
"Kenapa kamu masuk ke tubuhnya?" tanya nenek.
Aku meronta-ronta seperti sedang kesakitan. Nenek pun melanjutkan pertanyaannya.
"Siapa yang menyuruhmu?"
Sang makhluk gaib menjawab singkat, "Bu Haji!"
"Darimana asalmu?" tanya Nenek.
Dengan tegas makhluk itu menjawab, "Aku datang dari Tanah Karo!"
"Apa tujuanmu?" tanya Nenek sambil matanya melotot.
"Aku akan menghancurkan hidupnya! Bu Haji dendam, makanya jadi perempuan jangan sombong!" kata sang makhluk gaib.
"Karena dia tidak mau menerima cinta dari anak Bu Haji?" Nenek mencoba mengorek keterangan darinya. "Lalu kau ini siapa?" tanya Nenek.
"Aku Begu Ganjang, suruhan Bu Haji!" jawabnya dengan lantang.
Mendengar dialog Nenek dengan makhluk yang merasuki tubuhku, semua keluargaku sangat terkejut. Mama menangis. Terbukti sudah apa yang mama dan papa curigai selama ini, bahwa Bu Haji-lah biang keladinya.
Nenek mengeluarkan makhluk tersebut secara paksa dengan sebilah keris keramat miliknya. Sang Begu Ganjang dan kuntilanak yang ada dalam tubuhku menjerit keras. Sejurus kemudian, mereka pun pergi dari tubuhku dan aku tersadar kembali.
Sialnya, saat perjalanan pulang dari rumah Nenek, aku kembali kerasukan. Papa menelepon Nenek dan menjelaskan keadaanku. Beliau menyarankan aku dibawa ke tempat Buya, seorang guru ngaji di daerah Polonia.
Di sana, Buya berusaha mengeluarkan makhluk-makhluk itu lagi. Ketika ditanya oleh Buya, lagi-lagi jawabnya sama persis, yakni Bu Haji pelakunya. Setelah disembuhkan oleh Buya, aku pingsan sampai keesokan harinya. Buya memberiku sebuah cincin untuk pegangan.
Karena masih dalam suasana lebaran, keesokan harinya aku kembali diajak bersilaturrahmi ke tempat keluarga mama di Diski, Binjai.
Di siang hari yang terik setelah azan Dzuhur, aku kerasukan lagi. Aku kembali diobati oleh seorang dukun wanita yang kebetulan bertempat tinggal di daerah sana. Orang pintar itu menyuruhku agar besok aku mandi kembang. Tak lupa menyediakan benang 7 warna dan kembang 7 rupa. Benang tersebut kemudian dirajah untuk diletakkan di pinggangku.
"Benang tersebut tidak boleh dibuka atau dilepaskan sebelum kau menikah," suruh sang orang pintar. Dia juga mengingatkan, jika keluarga Bu Haji memberikan makanan atau barang dalam bentuk apapun, maka jangan sekali-kali diterima.
Setelah diobati orang pintar itu aku memang sembuh. Dan setelah liburan panjang berakhir, aku pun kembali ke kota tempatku kuliah.
Singkat cerita, menjelang semester 4 ada seorang laki-laki yang suka padaku. Namanya sebut saja Hilmi. Saat Hilmi menyatakan perasaannya padaku, beberapa saat kemudian aku kerasukan lagi. Bahkan, saat Hilmi mengunjungiku di rumah kost, tanpa alasan jelas tiba-tiba aku mengusir Hilmi.
Aku pun kembali diobati oleh orang pintar. Kali ini, yang mengobatiku adalah Bu Siti, seorang ibu dari teman kuliahku yang kebetulan biasa mengobati orang-orang kerasukan.
Bu Siti menyuruh keluargaku membuka tali benang yang ada di pinggangku berikut cincin yang diberikan Buya tempo hari. Alasannya, benda-benda tersebut justru mengikat makhluk-makhluk halus tetap berada di tubuhku.
Sayangnya, setelah kedua benda itu dilepaskan dari tubuhku, justru penyakitku semakin parah. Aku lebih sering kerasukan lagi selama satu minggu. Selama itu, sudah 9 orang pintar yang mencoba mengobatiku dengan berbagai cara namun tak ada yang berhasil.
Sampai akhirnya, Tante Erni menemukan orang pintar di pedalaman hutan yang jauh dari kota. Orang tersebut menyuruh mamaku mengambil kopi pahit, bawang putih, dan daun kelor untuk dimandikan ke sekujur tubuhku.
Pada saat mengobatiku, orang pintar ini mendapat serangan bertubi-tubi dari makhluk-makhluk halus yang bersemayam di tubuhku. Saat itu juga kedua orangtuaku disuruh berdzikir semalam suntuk membantu pengobatanku. Katanya, kalau mendengar bisikan atau sesuatu yang aneh jangan dihiraukan agar pengobatanku berhasil.
Konon sekitar pukul 2 dini hari, kedua orangtuaku mendengar suara letupan di atap rumah. Namun mereka tetap berdzikir. Seiring dengan suara letupan tadi, orang pintar yang mengobatiku juga mendapat hantaman sehingga dadanya mendadak sakit.
Keesokan harinya orang pintar itu mencari benang 7 warna. Dia juga menyiapkan bunga macan kerah, 7 macam bunga, dan daun jengkol. Semua digunakan untuk memandikanku. Setelah pengobatan itu aku sembuh dan bisa kembali menjalankan aktifitas sehari-hari.
5 bulan kemudian, aku berkenalan dengan seorang calon dokter sebut saja namanya Fahmi. Begitu gembiranya aku tatkala dia berniat melamarku. Namun saat Fahmi mau melamarku, banyak halangan yang menghadang sehingga orangtuaku tidak mengijinkan hubunganku dengan Fahmi.
Karena kecewa, aku histeris hingga jatuh pingsan. Tekanan darahku turun drastis ke angka 40. Semua dokter yang merawatku terkejut, mereka tidak menyangka dengan tekanan darah yang sangat rendah itu aku masih bisa bertahan hidup, bahkan kemudian sehat kembali.
Kejadian aneh tidak berhenti sampai situ. Saat aku menjadi panitia OSPEK di kampus, aku kembali kerasukan. Aku dibawa pulang ke rumah oleh teman-temanku. Di rumah, selama 3 hari berturut-turut aku kerasukan.
Keluargaku kembali memanggil orang pintar di pedalaman yang pernah mengobatiku beberapa waktu lalu. Namun, kali ini belaui tak berhasil membuatku sembuh. Orangtuaku mencoba mencari orang pintar lainnya namun juga tak kunjung sembuh.
Di kota Medan, aku diobati oleh Pak Sabirin yang tinggal di bilangan Tanjung Sari. Oleh Pak Sabirin, aku dimandikan dengan bunga kembang macan kerah selama 3 hari berturut-turut.
Setelah ritual digelar, Pak Sabirin mencoba mengeluarkan makhluk jahat yang bersemayam di tubuhku. Makhluk yang telah mendarah daging tersebut berupa siluman ular. Kedua orangtuaku turut menyaksikan proses mengeluarkan makhluk itu.
3 hari kemudian, aku kembali diobati Pak Sabirin. Di malam terakhir, setelah mandi, orangtuaku diperintahkan untuk berjaga agar aku tidak disetubuhi oleh Begu Ganjang.
Saat itu, antara sadar dan tidak, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Seolah ada sesuatu yang mau menindihku.
Astaghfirullah! Aku melihat sesosok makhluk yang sangat menakutkan. Tubuhnya hitam berbulu, dan dia berusaha menindihku. Aku pun menjerit dan berteriak, "Jangan!"
Teriakanku ini membuat cemas kedua orangtuaku. Mereka membaca Ayat Kursi berulang-ulang untuk melindungiku. Akupun terjaga dan tidak tidur sampai pagi.
Keesokan harinya kami datang ke rumah Pak Sabirin. Kali ini kami akan melakukan Ritual pengusiran Begu Ganjang. Sang Begu mencoba melawan Pak Sabirin.
"Aku tidak mau pergi! Karena aku telah diberi makan oleh majikanku" tolak sang makhluk.
"Siapa majikanmu?" tanya Pak Sabirin.
"Aku sudah melakukan kontrak dengan Bu Haji. Kalau aku pergi dari tubuh anak ini, maka aku akan mati! Tetapi sebaliknya, jika aku bertahan dalam tubuh anak ini, maka dia tidak akan bertahan hidup lama" kata Begu Ganjang.
Tiba-tiba suaraku mendadak berubah menjadi seorang perempuan. Menurut cerita mama, itu suara kuntilanak yang memakai tubuhku.
"Sebenarnya aku kasihan dengan anak ini. Hidupnya terombang-ambing bahkan terancam mati! Jodohnya sudah tertutup! Inilah perjanjian kami dengan majikan kami." ujar kuntilanak itu sambil terus tertawa.
Mendengar pengakuan dua makhluk tak kasat mata ini, Pak Sabirin tertawa seolah mengejek mereka.
"Banyak kali cakap kau ini!" katanya dengan logat Medan.
"Cepatlah kau pigi, atau aku keluarkan kau dengan paksa!"
Begu Ganjang pun menolak dan berkata, "Aku tidak akan keluar! Aku selamanya akan ada dalam tubuh anak ini!"
Mendengar ancaman itu, Pak Sabirin menyangkal, "Makhluk bodoh! Sebentar lagi majikanmu jatuh miskin dan melarat akibat perbuatannya sendiri. Dan kau tidak akan diberi makan lagi olehnya. Santet yang ada di tubuh anak ini akan kukembalikan padanya."
Akhirnya Pak Sabirin berhasil mengeluarkan dua makluk tersebut. Alhamdulillah, aku pun kembali pulih. Aku dapat mengikuti ritual mandi kembang selama 3 hari.
Di hari keempat aku kembali datang ke tempat Pak Sabirin untuk mencabut pengaruh santet.
"Bu Haji menggunakan media foto anak ini dan sebuah boneka kecil" jelas Pak Sabirin kepada keluargaku.
"Santet apa gerangan yang melanda puteri saya?" tanya mama.
Pak Sabirin menjelaskan, "Inilah yang namanya Santet Polong. Makhluk-makhluk ini memang sudah mendarah daging dalam tubuh anak ibu. Kalau pun sembuh, dia rentan kena santet, pelet, dan sejenisnya. Kecuali pagar dirinya cukup, rajin shalat, dan meminta perlindungan kepada Allah SWT."
Akhirnya aku terbebas dari ilmu santet yang telah memporak-porandakan hiduku selama 7 tahun ini. Bu Haji kini hidupnya melarat. Banyak sekali musibah yang menimpa keluarganya. Kabarnya, Bu Haji pun sering jatuh sakit.
Dan saat aku menuturkan kisah ini, aku telah hidup berumah tangga. Aku menikah di penghujung tahun 2007 lalu. Dengan demikian, tepat 7 tahun aku dalam nestapa akibat kekuatan Santet Polong.
Suamiku adalah seorang ustadz. Dia senantiasa membimbingku untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT. Kami pun tengah berbahagia menanti kelahiran sang buah hati. Dengan shalat dan banyak membaca Al-Qur'an, semua masalah yang menimpa diriku sudah dapat kulalui.
Demikianlah akhir kisah 7 Tahun Menderita Akibat Santet Tanah Karo. Seperti kata pepatah, "Barang siapa menanam maka dia akan menuai hasilnya. Sekecil biji zarahpun perbuatan manusia, niscaya Allah SWT akan membalasnya."
Setiap perbuatan buruk atau perbuatan jahat pasti akan mendapat karmanya. Itulah kenyataan yang terjadi dalam kisah ini. Allah tidak akan tinggal diam melihat manusia menzalimi sesamanya. Apalagi jika sampai melakukan perjanjian dan bersekutu dengan setan.
Semoga kita semua dapat bercermin dari kejadian ini dan menjalani hidup dengan penuh rasa syukur. Amin Ya Rabb.