Cerita Horor KKN di Desa Penari (Bag.1)
Beberapa waktu lalu di media sosial sedang heboh dengan cerita horror tentang kegiatan KKN mahasiswa di desa Penari. Cerita yang pertama kali dituliskan oleh akun twitter @SimpleM81378523 ini kemudian viral karena sangat seram dan menakutkan.
Cerita ini bahkan mudah kita jumpai di facebook, instagram, bahkan youtube. Meskipun sudah viral, nyatanya masih ada saja orang yang belum tahu ceritanya secara lengkap dan jelas. Cerita ini terbagi menjadi dua perspektif dari dua tokoh yang berbeda yaitu dari sudut pandang Widya dan sudut pandang Nur. Widya dan Nur adalah dua tokoh yang terlibat dalam kisah tersebut.
Dalam kesempatan ini kami akan membagikan cerita horor KKN di desa Penari dalam 2 artikel terpisah sesuai sumber aslinya, yakni Cerita Horor KKN di Desa Penari versi Widya dan Cerita Horor KKN di Desa Penari versi Nur. Cerita Horor KKN di desa Penari ini dimulai dari versi Widya yang kami tulis ulang dengan mengatur beberapa susunan kata dan kalimat tanpa mengubah alur cerita. Selamat membaca.
Malam ini, gue akan menuturkan sebuah cerita dari seseorang yang menurut gue spesial. Sebuah cerita tentang pengalamannya selama KKN, di sebuah desa penari.
Sebelum gue mulai, ada sedikit yang mau gue sampaikan. Sebenarnya gue tidak mendapat ijin untuk menulis cerita ini dari sumbernya karena dia memiliki ketakutan tersendiri pada beberapa hal.
Tapi karena gue merasa bahwa cerita ini memiliki banyak pelajaran yang bisa dipetik, kami sepakat bahwa semua yang berhubungan dengan cerita ini seperti nama kampus, fakultas, nama desa, dan latar cerita akan disamarkan dan dirahasiakan.
Suatu hari di penghujung tahun 2009,
Semua mahasiwa angkatan tahun 2005/2006 sudah hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN yang di lakukan di beberapa desa sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi. Dari semua wajah itu, terlihat satu orang tampak menyendiri. Widya, begitu anak-anak lain memanggilnya.
Ia tampak gugup dan cemas. Duduk menyepi dan menyendiri sampai sebuah panggilan telepon membuyarkan lamunannya.
"Aku sudah dapat tempat untuk KKN", ucap suara di ujung telepon. Wajahnya yang muram mendadak menjadi sumringah.
"Dimana?"
"Di kota B, sebuah desa di kabupaten K, banyak program kerja untuk di kerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita"
Saat itu juga Widya segera mengajukan proposal KKN. Semua persyaratan sudah terpenuhi, kecuali jumlah anggota yang dalam setiap kelompok harus terdiri dari 6 orang dan melibatkan 2 fakultas berbeda.
"Tenang", kata Ayu.
Ayu adalah orang yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi bersama abangnya. Dan benar saja, tidak beberapa lama muncullah Bima dengan Nur. Mereka menyampaikan kalau kelengkapan anggota 6 orang yang melibatkan 2 fakultas sudah disetujui.
"Siapa yang sudah gabung, Nur?" tanya Ayu.
"Temanku, kakak tingkat 2 angkatan di atas kita. Yang satu lagi, temannya."
Ucapan Nur melegakan batin Widya. Surat keputusan KKN sudah disetujui. Terdiri dari 2 fakultas dengan program kerja kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan diadakan kurang lebih selama 6 minggu.
Sekrang tinggal menunggu waktu hingga hari pembekalan sebelum keberangkatan.
Jauh hari sebelum malam pembekalan, Widya sempat berpamitan pada kedua orangtuanya tentang KKN yang akan ia tempuh. Keika orangtua Widya bertanya dimana proyek KKN mereka, terlihat wajah tidak suka dari raut wajah ibunya.
"Apa nggak ada tempat lain? Kenapa harus kota B?" wajah ibunya menegang.
"Disana isinya hutan semua, tidak cocok ditinggali manusia" imbuhnya.
Namun setelah Widya menejelaskan kalau sebelumnya sudah melakukan observasi,
wajah ibunya melunak.
"Perasaan ibu tidak enak, apa tidak bisa diundur satu tahun lagi" tanya ibunya.
Widya menolak. Meskipun berat, pada akhirnya kedua orangtuanya terpaksa menyetujuinya.
Hari pembekalan sebelum keberangkatan,
Keempat orang itu, Widya, Ayu, Bima, dan Nur tampak khawatir. Matanya melihat ke sekeliling. 2 orang kakak tingkat yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat. Sampai menjelang siang, 2 orang yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul. Mereka menyapa dan memperkenalkan dirinya, Wahyu dan Anton.
Setelah basa basi sejenak dan bertanya seputar rencana KKN, mereka akhirnya berangkat.
"Naik apa kita nanti?" tanya Wahyu.
"Elf mas" jawab Nur.
"Sampai desanya juga naik mobil Elf, dik?"
"Tidak mas, nanti berhenti di jalur alas (hutan belantara) D, nanti ada yang jemput"
Mendengar itu, Widya bertanya pada Ayu. "Yu, apa desanya nggak bisa dilewati mobil?"
Ayu menggelengkan kepala. "Nggak bisa. Tapi dekat kok dari jalan besar, mungkin sekitar 45 menit"
Setelah elf yang mereka tunggu-tunggu tiba, mereka mulai berangkat. Dari sinilah cerita ini dimulai. Sesuai apa yang Nur katakan, mobil berhenti di jalur masuk alas D setelah menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari kota S. Setelah menurunkan barang-barang bawaan dari kendaraan, mereka menunggu di situ.
Tanpa terasa hari sudah petang, ditambah area dekat dengan hutan membuat jarak pandang terbatas. Belum juga tiba di tujuan, gerimis mulai turun. Setelah menunggu hampir setengah jam, terlihat dari kejauhan ada cahaya mendekat. Nur dan Ayu langsung mengatakan bahwa mereka yang akan mengantar.
Rupanya yang mengantar adalah 6 orang lelaki paruh baya dengan motor bututnya masing-masing.
"Cuk, sepedaan ya?" tanya Wahyu spontan.
Entah disengaja atau tidak, kata sapaan yang dianggap biasa di kota S itu ditanggapi serius oleh para lelaki itu. Wajah mereka menunjukkan tidak suka dan menatap sinis pada wahyu. Hanya saja, yang memperhatikan itu, hanya Widya seorang. Apapun itu, semoga bukan menjadi hal buruk.
Akhirnya mereka pun meneruskan perjalanan. Di tengah hujan gerimis, iring-iringan sepeda motor tua melewati jalanan berlumpur dengan pohon di samping kanan-kiri. Suara knalpot yang meraung ditambah medan perbukitan membuat Widya khawatir, sudah hampir satu jam tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan.
Selama perjalanan, tak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. Apa semua warga disana pendiam semua? Malam semakin gelap, dan suasana hutan jadi semakin sunyi sepi. Kata orang, dimana sunyi dan sepi ditemui, disana rahasia dijaga rapat-rapat.
Rasa menyesal sempat terlintas di pikiran Widya. Apakah ia siap menghabiskan waktu 6 minggu ke depan di sebuah Desa yang jauh berada dalam hutan.
Ketika suara motor memecah suara rintik gerimis, sayup-sayup terdengar sebuah suara dari kejauhan. Suara yang akrab ditelinga. Dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong dan kompyang membaur menjadi alunan suara gamelan.
"Apa ada yang sedang mengadakan hajatan di sini?" pikir Widya.
Ketika sayup-sayup suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu menyambut mereka. Akhirnya mereka sampai di Desa W, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.
Setelah turun, para lelaki paruh baya itu berpamitan dan meninggalkan para anggota KKN dengan motornya masing-masing.
"Kesini teman-teman!" teriak Ayu. Di sampingnya berdiri seorang pria yang seolah telah menunggu kedatangan mereka sedari tadi. Raut wajahnya tampak tenang, berkumis tebal, mengenakan kemeja batik khas Jawa Timur.
"Kenalkan, ini pak Prabu. Beliau kepala Desa, teman dari kakakku. Pak Prabu, ini teman-teman saya dari kota S yang mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung bapak" ucap Ayu.
Pak Prabu memperkenalkan dirinya dan bercerita tentang sejarah desanya. Di tengah cerita, Widya menyela. Ia heran kenapa desanya harus berada jauh di pelosok dalam hutan. Pak Prabu tertawa, ia menjawab.
"Pelosok bagaimana, mbak? Jarak dari sini ke jalan besar setengah jam kok."
Pertanyaan Widya disambut tatapan aneh dari semua temannya.
"Mungkin mbaknya kecapaian. Ayo saya antar ke tempat dimana nanti kalian tinggal" sambungnya.
Ayu menegur Widya yang tampak kebingungan dengan jawaban Pak Prabu.
"Maksud kamu apa sih Wid kok bertanya seperti itu? Bikin sungkan saja"
Disitu Widya menyadari ada yang tidak beres.
Pak Prabu mengantar mereka ke tempat tinggalnya masing-masing. Tempat menginap untuk laki-laki adalah sebuah rumah gubuk yang dulunya dipakai untuk posyandu tapi sudah diubah sedemikian rupa. Meskipun masih beralaskan tanah, di dalamnya sudah ada ranjang tidur yang beralasakan tikar. Sedangkan untuk perempuan menginap di salah satu rumah warga.
Di dalam kamar, Widya menjelaskan maksud pertanyaannya ke pak Prabu tadi. Karena sepanjang perjalanan yang dirasakan Widya tadi terasa lebih dari satu jam. Ayu membantah kalau lama perjalanan tidak sampai selama itu. Nur memilih diam, tidak ikut berdebat.
"Begini, kamu dengar tidak tadi di jalan ada suara gamelan?"
"Ya mungkin ada warga yang sedang mengadakan hajatan, apalagi?"
Berbeda dengan Ayu, Nur justru menatap Widya dengan tatapan ngeri. Sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria diantara mereka berkata,
"Mbak, nggak ada desa lain dekat sini. Nggak mungkin ada acara hajatan. Kalau kata orang-orang tua, kalau dengar suara gamelan di tempat seperti ini pertanda buruk"
Mendengar itu, Ayu tersulut emosinya dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak.
"Nur, jangan ngomong sembarangan! Kamu kan ikut observasi di kampung ini sama aku, masak belum sehari disini sudah ngomong hal-hal yang nggak masuk akal?" Ayu lalu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur sendiri.
Nur lalu berkata, "Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu. Tapi aku juga lihat ada penarinya di jalan tadi"
"Astaghfirullah" ucap Widya tidak percaya.
Nur menatap nanar, air matanya sudah seperti mau keluar. Widya memeluk dan mencoba menenangkannya. Benar kata ibunya tempo hari, "Banyu semilir mlayu nang etan", artinya adalah air mengalir ke arah timur.
Ucapan itu memiliki makna bahwa daerah timur pulau Jawa adalah tempat dimana semua dikumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan hal yang paling buruk. Dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur dari sisi pulau Jawa ini.
Widya memang percaya terhadap hal-hal yang bersifat gaib karena itu ada dalam ajaran agamanya. Tapi baru kali ini ia merasakan langsung pengalaman horor itu meski hanya sebatas suara. Berbeda dengan Nur, yang mengaku melihat sosok yang seharusnya tidak ia lihat.
Mungkin intuisi dan batin Nur lebih sensitif. Dari awal Nur memang berbeda, hanya dia yang mengenakan jilbab. Jika dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri, Nur adalah yang paling religius. Itu tidak aneh karena Nur adalah jebolan sebuah pondok pesantren ternama di kota J.
"Nur, cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman. Tidak enak kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita di sini itu sebagai tamu. Insya Allah, semua akan baik-baik saja." Nur mengangguk.
Keesokan harinya semua berkumpul. Sesuai janji pak Prabu, hari ini akan diantarkan keliling desa. Melihat semua program kerja yang sudah diajukan Ayu tempo hari, sekaligus meminta saran untuk program kerja individu yang harus di kerjakan sendiri-sendiri.
"Meskipun tinggal disini, saya juga pernah kuliah lho dik, sarjana lagi" kata pak Prabu.
Mendengar itu Wahyu langsung menimpali, "Tuh, dengarkan bapaknya. Walaupun orang desa, tidak lupa kuliah"
"Bapake dulu ambil jurusan apa? Perhutanan ya?" lanjutnya
"Bukan" kata beliau santai. "Pertanian"
"Lah, di sini nggak ada sawah. Gimana sih pak?"
"Ya, memangnya kamu pikir hanya karena ambil jurusan pertanian harus terjun ke sawah?"
Mendengar jawaban pak Prabu sontak membuat semua tertawa. Widya sempat melirik Nur. Dia sudah ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam. Akhirnya sampailah mereka di pemberhentian pertama. Sebuah pemakaman desa.
Aneh. Itu yang pertama kali dipikirkan Widya, atau mungkin juga teman-teman lainnya. Di setiap batu nisan ditutup oleh kain hitam. Pemakaman itu luas, dikelilingi pohon beringin dan di setiap pohon ada batu besar di sampingnya. Ada sesajen yang diletakkan di depannya.
Nur yang tadi tertawa riang mendadak diam. Ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. Pagi itu cerah, tapi tiba-tiba terasa gelap dalam pikiran Widya.
"Mohon maaf, pak. Ini kenapa ya, kok..." belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya.
"Saya tau apa yang mau adik tanyakan. Pasti mau tanya, kok batu nisannya ditutupi kain, kan?"
Widya mengangguk. Rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, mereka terdengar tertawa kecil.
"Itu namanya Sangkarso, kepercayaan orang sini. Jadi biar orang luar tahu kalau ini pemakaman" terang pak Prabu. Jawabannya sama sekali tidak membuat mereka puas.
Wahyu dan Anton walaupun menyindir dengan suara pelan "Orang bodoh juga bisa membedakan kuburan sama lapangan, pak!"
Pak Prabu ternyata mendengarnya. Ia yang awalnya murah senyum tiba-tiba terdiam. Raut wajahnya berubah dan tak tertebak. "Semoga saja kalian tahu yang diomongkan, ya"
Kalimat pak Prabu seperti intimidasi yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan. Sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah melihat respon pak Prabu.
"Silahkan, pak. Bisa lanjut ke tempat selanjutnya."
Tempat berikutnya adalah Sinden. Sebuah kolam, mata air yang keluar dari dalam tanah. Pak Prabu berkata bahwa Sinden ini bisa dijadikan program kerja yang paling menjanjikan. Tak jauh dari sana ada sungai. Harapan pak Prabu, Sinden dan sungai bisa terhubung, jadi seperti jalan air.
Tanpa terasa hari sudah siang. Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan. Memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling diutamakan sampai yang paling akhir dikerjakan.
Tapi tetap saja, selama perjalanan Widya banyak menemukan keganjilan. keganjilan yang paling mencolok adalah banyaknya sesajen yang diletakkan di atas tampah (wadah dari anyaman bambu), lengkap dengan bunga dan makanan. Dengan bau kemenyan yang menusuk hidung, membuat Widya tidak tenang.
setiap kali ia akan bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.
Sedangkan Nur setelah dari Sinden, ia meminta ijin kembali ke rumah karena merasa tidak enak badan. Bima yang mengantarkanya, jadi observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja. Kemudian, sampailah di titik paling menakutkan.
"Tipak talas", kata pak Prabu. Sebuah batas dimana rombongan mahasiwa itu dilarang melintasi sebuah jalan setapak jalan yang seolah dibuat serampangan. Di kanan-kirinya ada kain merah yang diikat oleh janur kuning layaknya dalam acara pernikahan.
"Kenapa tidak boleh, pak?" tanya Ayu penasaran. Pak Prabu terdiam lama. Ia seperti sudah mempersiapkan jawaban tapi enggan mengatakannya.
"Itu adalah alas (hutan belantara) D, Tidak ada apa-apa disana. Takutnya kalau kalian nekat kesana lalu hilang tersesat, bagaimana?"
Sekali lagi, jawaban itu tidak cukup membuat Widya yakin itu dalah hal yang sebenarnya. Tapi perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, terasa nyata buatnya.