Cerita Horor KKN di Desa Penari (Bag.4)
Desa KKN mereka sudah semakin dekat. Dan sesampainya di desa, Wahyu pergi mengembalikan motor ke rumah pak Prabu. Sedangkan Widya sudah ditunggu oleh semua anggota KKN. Mereka khawatir dan berdiri menunggu di teras rumah.
"Darimana sih? Kok lama sekali" kata Ayu.
"Dari kota, belanja keperluan kita" jawab Widya.
Nur membuang muka melihat Widya. Sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu. Setelah dia menceritakan kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu. Sekarang dia sedikit menjauhi Widya, dan ia merasakan itu. Sangat terasa.
Di suasana canggung itu, Bima coba mencairkan suasana, "Sudahlah, kok canggung begini"
Bima menggandeng Widya dan menyuruhnya masuk ke dalam rumah, "Kamu pasti capek, kan?"
Tak beberapa lama, Wahyu datang. Ia masuk ke dalam rumah. Alih-alih istirahat, Wahyu dengan suara menggebu-gebu menceritakan kejadian yang baru mereka alami. Dia bercerita mulai dari kejadian tidak mengenakan pada motor, dibantu orang kampung, dan tidak lupa tentang sang penari cantik yang ia temui.
Semua diam. Bukan sambutan yang Wahyu dapat, tapi tatapan kebingungan dari semua orang yang ada di situ.
"Nggak ada desa lagi disini" kata Bima.
Wahyu yang mendengar itu tidak terima. "Tahu dari mana kamu?"
"Aku sudah sering ke kota, Yu. Prokerku berhubungan sama program hasil alam, jadi sering ikut ke kota sama orang sini. Sampai sekarang, aku belum menemukan ada kampung lagi dekat sini" terang Bima.
"Ngomong apa sih? Bohong" kata Wahyu, geram.
Nur membuka suara, "Mas, memang tidak ada desa lagi di sini. Kan sudah pernah dibahas?"
"Kalian kalau nggak percaya, aku kasih bukti kalau ada desa lain di sekitar sini" sengit Wahyu berapi-api.
Widya yang sedari tadi diam tiba-tiba di tarik oleh Wahyu. "Tanya sama Widya kalau tidak percaya"
Widya masih terdiam lama. Pikirannya masih tertuju pada kopi yang tadi diminumnya di acara hajatan itu. Aroma kopi itu manis, rasanya sama persis dengan kopi yang disajikan mbah buyut dulu.
Tak sabar menunggu jawaban Widya, Wahyu membuka paksa tas Widya dan mengambil bingkisan itu. Tapi bukan koran yang ia temukan, melainkan bungkusan daun pisang.
Saat Wahyu membukanya itu, semua orang yang melihat isi bingkisan itu terperanjat kaget. Di dalamnya ada sebuah benda berlendir. Benda hitam itu jatuh menggelinding ke lantai. Aromanya sangat amis. Tak salah lagi, di dalam bingkisan itu adalah kepala monyet dengan darah yang masih segar mengalir pada daun pisangnya.
Sejak kejadian yang menggemparkan itu, Wahyu mengurung diri dalam kamar selama 3 hari. Kadang ia masih tidak percaya telah mengalami hal itu seperti itu. Tapi jika mengingat-ingat lagi bagaimana kepala monyet itu jatuh dari tangannya, ia merasa mual.
Widya hanya mengulang kalimat mbah Buyut, "Jangan menolak pemberian tuan rumah". Sejatinya, apa yang dilakukan Wahyu dan Widya sudah benar. Meski ia tahu semua itu terasa ganjil, namun mereka harus tetap mencicipinya. Yang jadi masalahnya, hanya Widya yang sadar kalau yang menemani mereka bukanlah manusia.
Seandainya saat itu Widya mengatakan keganjilan itu pada Wahyu, menolak pertolongan dan pemberian mereka, mungkin ceritanya akan berbeda. Bisa saja penolakan seperti itu justru akan mendatangkan bencana bagi mereka. Tapi apapun itu, ada 1 hal yang Widya pahami. Ada hubungan antara dirinya dengan sang Penari.
Malam itu Widya baru selesai melihat prokernya yang dibantu beberapa warga desa. Ketika langit sudah gelap gulita, Widya menyusuri jalan setapak desa. Seperti biasa, suara binatang malam mulai terdengar. Ia terus berjalan sampai melihat rumah tempat mereka menginap.
Seharusnya yang lain sudah ada di rumah. Mengerjakan laporan program kerja, atau mungkin sedang beristirahat. Tapi anehnya, lampu petromak yang seharusnya menyala di depan rumah berada dalam kondisi mati. Rumah itu terlihat seram mengerikan.
Rumah itu seolah memanggil namanya. Widya memantapkan hatinya. Rumah ini memang masih terbilang baru, tapi tempo hari ia mendengar bahwa ada makhluk halus penunggu rumah dan itu membuatnya tidak tenang. Beberapa kejadian ganjil juga pernah ia alami. Tak hanya Widya, sebenarnya kejadian-kejadian aneh juga pernah dialami yang lain, tapi mereka memilih diam.
Kini Widya sudah ada di depan pintu. Ia mengetuknya, mengucapkan salam, dan melangkah masuk. Hanya ruang kosong yang ada di hadapannya. Tak ada Ayu yang biasanya sibuk menulis laporan.
Di teras rumah pun sama, seharusnya Wahyu dan Anton ada disana. Ngobrol seputar apa yang mereka lakukan hari ini ditemani asap rokok yang mengepul dari mulut mereka. Atau suara Nur yang sedang mengaji, dan Bima yang entah apa saja yang dilakukannya di rumah ini.
Sayangnya, malam itu tak ada satupun penghuni rumah ini. Widya bertanya-tanya, apakah ia terlalu sore untuk pulang saat yang lain masih sibuk mengurus program kerja mereka masing-masing?
Widya bersiap masuk ke dalam kamarnya saat sekelebat perasaan tak nyaman itu muncul. Perasaan sedang diawasi yang entah darimana datangnya. Itu menimbulkan rasa takut dan berdebar di dada. Tiba-tiba terdengar suara ringkik tawa ringkik dari dapur. Saat itulah Widya yakin ada sesuatu disana.
Sesuatu ini bukan lagi hal baru baginya, ia harus memeriksanya. Saat Widya menyibak tirai dapur, ia melihat Nur sedang duduk di sebuah kursi kayu. Matanya menatap lurus ke tempat Widya berdiri. Ia masih mengenakan mukenah putihnya seolah-olah baru menunaikan sholat. Tapi kenapa ia duduk diam seperti itu.
"Nur, ngapain?" tanya Widya.
Nur masih diam, matanya kosong. Tapi kemudian Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk, seakan-akan ia tertidur di atas kursi kayunya. Widya panik lalu mendekatinya.
Ia menggoyang badannya, namun Nur tidak bergeming. Saat Widya mencoba menyentuh kulit wajahnya yang dingin, Nur terbangun dan melotot melihat Widya. Tatapan matanya seperti sangat marah.
"Anak cantik..." kata itu yang pertama kali keluar dari mulutnya. Hanya saja, itu bukan suara Nur. Suaranya seperti suara seorang wanita yang sudah uzur. Intonasinya melengking, membuat bulu kuduk Widya merinding.
Saat Widya berpikir untuk kabur, tangannya sudah dicengkram sangat kuat.
"Betah tinggal disini?" lanjut suara Nur.
Widya tidak menjawab sepatah katapun, suaranya mengingatkanya pada neneknya sendiri, benar-benar melengking.
"Gimana anak cantik? Sudah kenal sama Badarawuhi?"
Widya mulai menangis.
"Lho.. lho.. lho.. Anak cantik nggak boleh nangis, nggak bagus" Matanya masih melotot. Pergelangan tangan Widya dicengkram dengan kuku jari Nur.
"Anak laki-laki yang ganteng itu aja sudah kenal lho sama Badarawuhi" imbuhnya.
"Nur!" panggil Widya. Ia tak kuasa menahan rasa takutnya lagi. Suasana di ruangan itu benar-benar menyeramkan. Baru kali ini Widya merasa ketakutan seperti ini.
"Sadar, Nur! Sadar!"
Nur justru tertawa semakin kencang. Tawanya benar-benar menyerupai tawa kuntilanak di TV.
"Kamu nggak tahu siapa aku?" jawab pemilik suara itu.
"Kamu pikir, kalau nggak ada aku, anak nakal seperti temanmu yang bawa makhluk halus ke sini bisa mencelakai cucuku? Aku, yang jaga Nur sampai sekarang. Tak kubiarkan mereka mendekati cucuku. Paham?" tambahnya.
"Mencelakai gimana, mbah?" Rasa takut Widya berangsur berubah menjadi rasa penasaran mendalam.
"ANak cantik, temanmu yang satu itu tidak akan bisa kembali. Kalau kamu belum sadar, semua bakal terjadi. Tak kasih tahu, anak ganteng itu akan membawa petaka, menyeret semua yang ada di desa ini"
Setelah mengatakan itu, Nur berteriak keras sekali lalu jatuh pingsan.
Widya menggotong Nur kembali ke kamarnya, menungguinya sampai ia terbangun dari pingsannya. Dan benar saja, Nur tidak tahu kenapa ia bisa tak sadarkan diri.
Nur akhirnya bercerita saat di pondok dulu, kalau sudah terlalu khusyuk dalam sholatnya ia bisa sampai ketiduran.
Entah apa yang ada di pikiran Widya, tiba-tiba dia bertanya hal yang paling tidak Nur sukai.
"Sejak kapan kamu bisa lihat yang seperti itu?"
Mendengar pertanyaan Widya, Nur jadi salah tingkah. Awalnya ia berniat tidak menceritakannya. Tapi karena Widya terus mendesaknya, akhirnya ia mau buka suara.
Nur berkata sejak mondok ia bisa melihatnya, karena memang harus bisa.
"Gaib itu ada" kata Nur.
"Sebenarnya setiap orang ada yang menjaga. Jenisnya berbeda-beda, ada yang jahat, ada yang baik, ada yang cuma mengikuti, ada yang cuma numpang lewat"
"Kamu ada yang jaga?" tanya Widya.
"Katanya ada" ucap Nur. Suaranya pelan, sepeti tidak yakin atau tidak mau menjawab.
"Kok katanya?"
"Aku nggak pernah lihat, Wid. Aku di kasih tahu temanku sebelum keluar dari pondok. Katanya, yang jaga aku wujudnya seperti nenekku dulu". Nur kemudian bercerita tentang pengalamannya selama mondok, namun Widya lebih memikirkan hal lain.
23 Hari sudah dilalui. Dan setiap hari, perasaan Widya semakin tidak enak. Awalnya satu pers atu warga yang membantu program kerjanya mulai tidak datang, kabarnya mereka jatuh sakit. Tapi anehnya, itu hanya terjadi di program kerja kelompok yang berurusan dengan Sinden.
Pernah suatu hari Widya mendengar secara tidak langsung kalau ini semua karena Sindennya mengandung kutukan. Tapi pak Prabu bersikeras itu hanya mitos, takhayul.
Suatu ketika Widya diberitahu warga kalau Sinden ini ada arwah penunggunya. Konon Sinden ini dulu sering digunakan untuk mandi oleh sosok penunggu semasa hidupnya. Sosok yang dibicarakan ini tidak pernah disebut warga, namun yang mencurigakan dari kasus ini adalah nama Sinden ini, yakni Sinden kembar.
Alasan kenapa pak Prabu memasukkan Sinden menjadi program kerja adalah agar air sungai dapat dialirkan ke Sinden ini sehingga warga tidak perlu lagi jauh-jauh mengambil air ke sungai yang tanahnya terjal. Tapi seperti ada yang ganjil.
Malam itu, Ayu mengumpulkan semua anak dan mendisuksikan perihal masalah yang mereka hadapi. Saat ini hampir setengah warga yang membantu program kerja mereka tidak mau melanjutkan pekerjaannya. Alasanya bermacam-macam, ada yang sibuk berkebun sampai badannya sakit semua.
Dari semua anak yang punya usul, hanya Bima yang tidak seantusias yang lain. Malam itu juga Widya teringat yang di katakan Wahyu, setiap malam Bima pergi keluar rumah, entah apa yang di lakukannya.
Widya sengaja begadang hanya untuk memastikan. Dan ternyata benar, malam itu
Bima pergi keluar rumah. Widya masuk ke kamar Bima, disana ada Wahyu dan Anto. Widya lalu membangunkan Wahyu. Meski enggan, Widya terus memaksanya. Setelah Wahyu benar-benar terjaga, Widya memberitahu kalau Bima baru saja keluar.
Wahyu hanya menatap Widya keheranan dan menjawab, "Aku kan sudah pernah bilang"
"Lha iya, makanya ayo kita ikuti. Mau kemana anak itu"
"Buat apa? Mungkin dia ke rumah pak Prabu, perbaiki tong sampahnya yang dari bambu" sergahnya.
"Ya sudah terserah" balas Widya sengit.
Widya keluar dari kamar itu lalu pergi menyusul Bima, sendirian. Bima itu anak cowok yang paling religius, sama seperti Nur. Tapi Anton sering bercerita kalau dia pernah memergoki Bima sedang onani di dalam kamar. Itu tidak terjadi sekali dua kali saja. Masalahnya adalah, saat Bima onani ada suara perempuan.
Widya tidak terima Bima diejek seperti itu oleh Anton, Widya pun bertanya darimana dia tahu Bima onani?
"Heh! Kamu pikir aku nggak tahu orang onani itu seperti apa?" Widya terdiam mendengar ucapan Anton.
"Yang jadi maslaah itu bukan Bima onani. Semua laki-laki pasti pernah melakukannya. Masalahnya, kenapa ada suara perempuannya?"
"Sudah aku tunggu siapa perempuan itu, kalau nggak kamu, pasti Ayu atau Nur. Tapi ternyata tidak ada orang lain di dalam kamarnya"
"Terus?" tanya Widya.
"Lalu suara siapa yang tak dengarkan kalau gitu?"
"Masalahnya, aku sudah sering tahu dan selalu mendengar suara itu"
Cerita Anton membuat pandangan Widya berubah. Malam itu ia melihat Bima berjalan jauh ke arah timur desa. Dia menuju ke sebuah tempat yang membuat Widya merinding setiap kali memandangnya. Tipak Talas.
Widya melihat Tipak talas seperti sebuah lorong yang panjang. Hanya saja, dindingnya adalah pepohonan besar dengan akar disana-sini. Selain medan tanahnya menanjak, di depan Tipak talas ada gapura kecil lengkap dengan kain merah dan hitam di sekelilingnya.
Pak Prabu pernah bercerita, kain hitam adalah adat desa untuk sebuah penanda seperti di pemakaman. Sebelum Widya tahu kebenaran dari warga yang bercerita, bahwa hitam yang di maksud adalah simbol alam lain. Hitam bukan untuk yang hidup, melainkan untuk tanda bagi mereka yang sudah mati. Lalu, apa maksud penanda warna merah?
Konon dari seluruh tempat yang diberi penanda dengan kain di desa ini, hanya gapura ini yang diberi kain berwarna merah. Apalagi kalau bukan simbol petaka?
Widya mulai melangkah naik, kakinya tidak berhenti mencari pijakan diantara akar dan batu. Kedua tanganya mencari sesuatu yang bisa menahan berat tubuhnya.
Malam itu sangat dingin, dingin sekali. Hanya kabut di tengah kegelapan yang bisa Widya lihat. Butuh perjuangan keras untuk sampai ke puncak Tapak tilas. Saat it sampai disana, Widya hanya melihat satu jalan setapak yang kelihatannya tidak terlalu curam. Disana Widya merasakannya, perasaan yang tidak enak dari tempat ini Hal itu membuatnya merinding.