Cerita Misteri Pesugihan: Kampung Tumbal (Bag.3)
Pukul 9 pagi di hari Kamis, semua di kumpulkan untuk apel acara yang akan dilakukan selanjutnya. Kucari-cari Maya tapi tidak kutemukan. Aku bertemu Ines anak IPA yang sekelas dengan Maya.
"Hai ness .. Maya dimana?" Tanyaku sambil mendekat ke arahnya.
"Eh andin! Sudah sembuh? kamu nggak tahu ya? Maya kemarin kesurupan dan demam, jadi dia dibawa pulang deh ke rumah." Senyum ines.
"Haahh? Ini seriusan?" Tanyaku tidak percaya.
Ines mengangguk dan berpamitan denganku untuk kembali ke barisan anak IPA.
Aku hampir jatuh karena terkejut dengan apa yang terjadi. Apakah sebenarnya bu Asih itu orang jahat? Tak bisa kupercaya. Saat ini aku harus berhati-hati dengannya.
Hari ini adalah hari ke-3 kami di kampung ini. Begitu banyak pertanyaan yang ditujukan padaku oleh teman-teman. Namun kali ini aku tidak mau banyak bicara, aku malas untuk bercerita atau lebih tepatnya aku takut sama bu Asih. Kalau dia tahu aku cerita-cerita trus dia marah gimana?
Sialnya, nanti itu malam Jum'at dan aku harus tinggal berdua sama bu Asih yang baru kuketahui ternyata dia lebih menakutkan daripda pak Prapto. Malam ini kuputuskan untuk menginap di rumah mutia dan lutfi. Kan enak adem, wifi lancaar.
Setelah kegiatan, aku berjalan bersama Mutia dan Lutfi. Mereka bercanda gitu kan, aku hanya diam. Gak tahu kenapa aku merasa nggak nyaman dan resah banget. Aku takut kalau aku korban tumbal bu Asih. Aku takut Maya kenapa-kenapa.
Ku lihat jam sudah menunjukan pukul 5 sore, kita sampai di rumah asuh Mutia. Aku bergegas mandi dan memakai baju seadanya punya Lutfi karena baju kita seukuran. hehe
Oh iya, rumah bu Asih dan rumah asuh mutia ini agak jauh. Bu Asih kampung 1, ini kampung 2. Kalau dari rumah bu Asih ke kampung ini harus melewati kebun-kebun yang lumayan rimbun dan serem, nggak ada penerangan.
Allahu akbar... Allahu akbar...
Adzan maghrib telah tiba.
Aku, Mutia, dan Lutfi lantas menunaikan sholat maghrib berjamaah di kamar.
Hpku berbunyi beberapa kali menandakan ada panggilan telfon. Tapi tidak kuhiraukan. Aku melanjutkan membaca Al Qur'an. Sambil menunggu adzan isya, tidak terasa 2 juz telah kubaca, hingga Adzan isya berkumandang.
Aku melanjutkan sholat isya kemudian kembali tadarus untuk menyelesaikan 3 juz. Kira-kira pukul 19.30 aku telah selesai. Kulihat hp ada beberapa panggilan dari bu Asih dan teman-teman yang berada di 1 kampung bersamaku.
Bu Asih mengirimkan pesan,
"Dek, dimana? Ibu khawatir"
"Khawatir?" Batinku. Khawatir korban tumbalnya lari? Aku memutuskan untuk tidur karena sudah lelah sekali. Aku sama sekali tidak memikirkan bu Asih, aku sudah benci dengan dia.
Baru kupejamkan mata, aku dibangunkan mutia. Dia memberi tahuku bahwa bu Asih, pak ilham, beserta 2 guru mencariku sampai kesini. Aku menangis kala itu dan tidak mau kembali ke rumah itu. Aku takut.
Tapi bu Asih memelukku dengan wajah sedih seperti seorang ibu yang kehilangan anaknya. Aku makin jijik melihat wajah dia, toh dia yang mengorbankan kedua anaknya.
Dia terus memohon dan menangis agar aku pulang, entah kenapa malam itu aku akhirnya luluh mau pulang ke rumah bu Asih. Toh yang menumbalkan anaknya itu kan suaminya, pikirku.
Sesampai di rumah bu Asih, aku sudah di sediakan makanan. Aku pun makan malam berdua bersama bu Asih. Walaupun aku sudah mau ke sini, perasaan takut itu masih menghantuiku.
"Dek, nanti tidurnya ibu temenin yaa. Biar dek andin nggak takut." Bu Asih membuka percakapan.
Aku membalasnya dengan senyuman. Seperti biasa yang membereskan semuanya bu Asih. Aku langsung masuk kamar karena aku bener-bener capek banget dan badanku sakit semua.
Tak terasa aku sudah tertidur pulas dan aku pun bermimpi. Di dalam mimpiku, aku bertemu nenek yang menyeramkan kemarin. Dia tertawa-tawa melihat wajahku. Badanku berkeringat dan aku berusaha lari, namun dia ada dimana-mana. Suara tawanya yang khas membuat telingaku ingin pecah.
Aku pun berteriak hingga terbangun dan bu Asih sudah ada di sampingku. Dia memelukku, badanku panas dan berkeringat banyak.
"Siapa yang berani mengirimkan itu kesini, awas saja~" Gumam bu Asih seperti waktu itu. Aku sepertinya salah menilai bu Asih. Ternyata beliau benar-benar mengkhawatirkanku. Bu Asih mengompres keningku dan menemani sepanjang malam.
Hingga subuh aku terbangun. Badanku sudah baikan kala itu. Aku mengambil air wudhu dan sholat subuh. Hari ini adalah hari terakhir aku di sini. Tidak ada kegiatan, hari terakhir ini kuhabiskan dengan menonton TV dan bermain hp.
Tiba-tiba aku dapat pesan dari Maya,
"Malam ini puncaknya pertunjukanmu disitu. Awas bu Asih mengawasimu terus, kamu harus berhati hati"
"kamu ngmong apa sih may? Aku nggak ngerti deh." balasku.
Kutunggu hingga setengah jam Maya tidak membalas. Bu Asih di warung depan sedang berjualan. Tiba-tiba ku dengar ada orang meminta tolong. Aku pun berlari keluar.
Betapa terkejutnya aku, seseorang terjatuh dari motor di depan rumah bu Asih dengan keadaan badan hancur. Aneh, bukan? Aku tidak mengenali orang tersebut namun yang kutahu dia seorang wanita. Aku mendengar orang-orang menyebut nama "mbak Tutik".
Aku ingin muntah dan pingsan karena melihat kecelakaan tragis seperti itu. Bu Asih mengajakku untuk masuk ke dalam rumah.
"Bu.. mbak Tutik itu siapa?" Tanyaku.
"Itu, sekertarisnya kades si pak Prapto. Kemaren istrinya, terus Joko pegawai kantor desa, pak Parmin tukang kebun kantor kades, sekarang mbak Tutik sekretaris dia. Emang kejam si Prapto." Bu Asih geram. Aku diam mendengarkan cerita bu Asih.
"Dari tadi aku di warung nggak denger ada suara tabrakan. Tapi kok aneh si Tutik itu bisa hancur badannya." Ucap bu Asih. Aku mual mengingatnya.
"Sekarang ini kamu yang diincar sama Prapto dek, aku yakin itu. Beberapa kali kiriman dia menyerangmu." Ucap bu Asih smbil menatapku tajam.
Lemas langsung badanku, apa salahku sampai mau dijadikan tumbal? Sumpah aku geram banget sama pak Prapto. Pengen aku bunuh duluan dia.
"Terus saya harus gimana bu? Saya takut." Rengekku
"Tenang saja nanti kamu saya bantu." Jawab bu Asih penuh percaya diri.
Aku jadi meras bersalah dengan kebencian dan tuduhan buruk ke bu Asih. Bu Asih tampak tulus banget. Sore itu bu Asih menyiapkan sesajen di meja makan. Dan bahkan ada darah ayam segala.
"Dek, ibu harus minta darahmu buat mengusir peliharaan pak Prapto." Ucap bu Asih.
"Trs caranya gmna bu?"
"Sobek dikit pakai pisau yaa? dikit kok yang penting darah kamu keluar." Ucap bu Asih.
Aku pun mengikuti perintah bu Asih. Bu Asih lalu menyalakan dupa/menyan. Aku harus duduk di meja itu di depan sesajen.
"Dek, ibu mau melayat ke rumah mbak Tutik. Adek di rumah dulu ya?" Pamit bu Asih.
"Tapi bu? Saya takut." Aku bener-bener takut guyss.
"Kamu aman kok, kamu harus duduk di sini trus hingga saya pulang. Jangan kemana-mana ya dik! Jangan pernah tinggalin sesajen ini kalau kamu masih mau hidup!"
"Tapi kalau saya mau sholat maghrib gimana bu?"
"kamu mau matii..?!" Bentak bu Asih sambil melotot.
Aku cuma menggeleng dan menangis.
"Nah nurut ya dek." Ucap bu Asih sambil mengelus kepalaku dan tersenyum.
Adzan maghrib berkumandang. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Aku tidak berani beranjak, bu Asih juga berpesan jangan membuka pintu jika ada yang bertamu. Pokoknya nggak boleh kemana-mana, aku cuma boleh duduk di sini.
Tiba-tiba angin kencang membuka paksa pintu rumah bu Asih, tampak seseorang masuk ke dalam rumah. Betapa terkejutnya aku. Tanganku bergetar begitu hebat. Nenek tua itu memasuki rumah bu Asih, dengan kekeh tawanya yang membuat bulu kudukku merinding.
Tubuhku kaku tidak bisa digerakkan sama sekali. Nenek tua itu semakin mendekat ke arahku. Aku berusaha berteriak, namun tidak ada suara yang keluar. Jantungku berdekup kencang, badanku memanas.
"Ndak usah takut ya, cu" nenek itu mendekat dan mengusap rambutku. Tubuhku bergetar hebat, kulirik ke arahnya. Sungguh sangat menyeramkan wajahnya.
Tiba-tiba dia mencekikku hingga aku sulit bernafas. Aku berusaha melepaskan cekikan itu. Aku meronta sampai menyan dan sesajen di meja hancur berantakan. Cengkraman nenek itu benar-benar kuat sampai aku nggak bisa nafas. Kutendang nenek itu sampai cekiknya terlepas. Dia terjatuh.
Aku terbatuk-batuk dan beranjak hendak lari. Tiba-tiba nenek itu berubah wujud menjadi sebuah sosok berbulu yang tinggi, bermata merah, dan bertaring. Kukunya hitam dan sangat panjang, kakiku digenggamnya dengan kuat sekali hingga aku jatuh terduduk di lantai.
Aku berusaha berteriak tapi tidak terdengar. Lalu mahluk itu mencekikku kembali. Hingga terdengar teriakan.
"Cukuppp!! berhenti!!" Teriak seseorang datang ke dalam rumah. Betapa terkejutnya aku setelah tahu orang tersebut adalah pak Prapto.
Apa benar ini ulah pak Prapto? Aku menangis kencang, makhluk tadi melempar pak Prapto sampai menabrak tembok. Disitu datang pula pak Ilham, ustadz di kampung ini. Mereka berdua memanjatkan doa-doa. Tapi makhluk ini malah semakin marah.
Aku berusaha berdiri dan hendak lari, tapi dicakarnya kakiku dan dia mendorong tubuhku hingga jatuh terlentang. Di kakiku masih ada bekas luka waktu itu gais sampai sekarang.
Tubuhku lemas, kulihat mahluk itu menyerang pak ilham dan pak Prapto. Tubuhku lemas sekali. Selang beberapa menit datanglah beberapa orang lagi, salah satunya adalah Maya dan guru agama di sekolah kami.
Maya sempat menolongku dengan membangunkanku. Tapi aku tidak sadarkan diri hingga aku tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku tersadar, semua orang sedang menangis. Kulihat Maya tergeletak lemas di sampingku dengan luka di wajahnya.
Kala itu aku hanya terdiam karena lemas dan tidak bisa berkata-kata. Kakiku perih, leherku kaku sekali. Orang-orang di sekelilingku membaca surat Yasin. Kulihat Maya bergerak-gerak dan berteriak, aku kaget lahh.
Aku yang tadinya lemas jadi bangun terduduk, takut banget soalnya. huhu.. Akhirnya aku dituntun untuk keluar dari ruangan itu, yang ada di dalam ruangan itu hanya pak ilham dan rekan-rekan yang tidak kukenal. Karena aku lelah sekali, jadinya aku tertidur pulas. Yang kuingat ada seorang ibu berjilbab yang mengelus-ngelus luka di kaki dan leherku.
Pagi harinya, tubuhku sudah mendingan. Dan teman-teman sekolahku sudah bersiap untuk pulang ke kota. Kulihat Maya juga sudah sadar dan mendingan. Wajahnya ditutup pakai perban.
Sebelum pulang aku dan Maya diajak berkumpul di kantor kades. Awalnya aku menolak, jujur aku takut dan malas bertemu pak Prapto. Aku begini kan karena dia? Dari awal bu Asih sudah bilang, orang yang paling tega menumbalkan istrinya itu pak Prapto.
"Sudah, ndin. Kita ikut aja. Biar kamu juga tahu cerita yang sebenarnya dan apa yang terjadi disini." Ucap Maya. Akhirnya aku menurut untuk ikut.
Sesampainya di sana, sudah ada pak Prapto, pak Ilham, pak Santo kepala sekolah kami, dan bu Indri yang sudah menyembuhkan lukaku. Kami pun di persilahkan masuk dan duduk. Aku malas menatap wajah pak Prapto, namun akhirnya pak Prapto meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi.
Jadi intinya aku salah menilai pak Prapto ini gaiss. Dia sebenernya baik, dan warga disini tidak ada yang memiliki peliharaan. Justru yang punya peliharaan itu ya bu Asih. Wanita tua yang menerorku, itu peliharaan dia. Dan ternyata rumah yang aku tinggali itu bukan rumah asli bu Asih. Bu Asih ini memiliki 4 sawah, peternakan sapi, pertanian bakau, dan masih banyak lagi.
Awalnya bu Asih ini kerja menjadi TKI. Suaminya seorang kades, namun ketika pulang ke kampung halamannya, dia membawa 2 orang anak hasil hubungan gelapnya selama bekerja sebagai TKI.
Karena dia tidak dijinkan suaminya untuk menjdi TKI lagi, hidupnya serba pas-pasan sehingga ia berpikir untuk memiliki pesugihan dan peliharaan. Rumah yang aku tempati ini ya rumah peliharaan bu Asih. Makanya banyak warga yang meninggal tidak wajar di depan rumah bu Asih. Dan orang yang meninggal itu meneror bu Asih.
Sebenarnya dari awal yang diincar peliharaan bu Asih itu Maya. Tapi ternyata si Maya ini punya penjaga dan kebetulan memiliki kelebihan. Jadinya akulah yang terkena imbasnya. Si Maya sebelumnya geger ingin pulang karena dia tahu bakal jadi korban tumbal bu Asih. sekarang bu Asih menghilang dan masih dalam pencarian.
Warga dan pak Prapto pun tidak menyangka orang yang menghabisi istrinya adalah bu Asih, bahkan anak dan suami bu Asih juga menjadi korban tumbalnya. Sebenernya aku sudah nggak kuat gais, pengen nuntut bu Asih tapi ya gimana, aku lebih baik segera pergi dan tidak mau berurusan dengannya lagi.
Kalau soal tuyul itu emang banyak yang pelihara tuyul tapi bukan dari kampung ini, tapi di kampung lain. Hanya saja tuyulnya suka lari ke kampung ini. Setelah kita semua pulang dari sana aku diruqiah sampai beberapa bulan baru sembuh. Dan yang serem, bu Asih masih sering sms aku.
Karena aku takut dan masih trauma, aku memutuskan untuk ganti no HP. Dan denger-denger dari adik kelasku yang live in di tahun berikutnya, depan gang kampung sudah bukan rumah, tapi masjid. Dan tidak ada lagi orang tua Asuh yang bernama Asih.
Sekarang yang masih tersisa hanyalah bekas luka di kaki sama di leher. Namun aku sangat bersyukur masih bisa hidup. Maya setelah itu pindah sekolah hingga ke luar kota. Aku sudah tidak pernah kontak lagi dengannya, kudengar dia melanjutkan kuliah di luar negeri.
Dan untuk bu Asih aku nggak tahu kabarnya ya gaiss. Pokoknya setelah dari situ cuma dapet beberapa SMS dari bu Asih terus aku ganti nomor. Buat yang penasaran, ini isi chat bu Asih waktu itu:
Yang pertama
"Adek dmna? Ibu kangen"
Yang kedua
"Hahahaha"
Pesan pertma dengan yang kedua ini terpaut 2 hari ya, kalau nggak salah hari rabu pesan pertama terus jum'atnya pesan kedua. Karena aku takut langsung ganti nomer. Sekian.