Doa Sunda Wiwitan: Mantra Kecerdasan Otak
Doa Sunda Wiwitan: Mantra Kecerdasan Otak - Kali ini teman-teman sekelasnya dibuat kagum. Betapa tidak, Azizah yang selama ini dikenal sebagai sosok yang kurang cerdas mampu dengan cepat menjawab beragam pertanyaan yang diberikan oleh gurunya...
Entah sudah berapa batang rokok habis dihisapnya. Sebenar-sebentar, Nurdin menghembuskan napas berat seolah hendak menghilangkan beban berat yang tengah menghimpit dadanya. Ya ... kali ini ia benar-benar terpukul. Sebagai salah seorang pengajar di salah satu PTS, ia tak pernah menyangka ternyata putri pertamanya tergolong sulit dalam menangkap pelajaran yang diberikan oleh gurunya.
Ia sudah pernah membawa anaknya ke psikolog. "Tidak ada gangguan sama sekali, atau mungkin karena sedang masa puber," demikian kata sang psikolog sambil tersenyum.
Kurang puas atas jawaban yang diterima, kembali Nurdin membawa anaknya konsultasi ke dokter spesialis saraf. Setelah mendiagnosis lewat hasil RMI, sang dokter pun berkata; "Tidak ada gangguan sama sekali. Mungkin ia mendapat tekanan dari luar."
Nurdin yang penasaran pun mendatangi gurunya untuk berkonsultasi. Sang guru pun hanya bisa berkata, "Yang saya tahu, putri Bapak seperti kurang konsentrasi. Atau apakah ada masalah di rumah?"
Nurdin pun menjelaskan bahwa kehidupan mereka, Nurdin, istri dan kedua anaknya tidak mempunyai masalah yang berarti. Akhirnya, Nurdin dan guru sekolah itu pun hanya bisa terdiam tanpa bisa menarik kesimpulan barang sedikit pun.
Setibanya di rumah, Nurdin langsung terduduk dan menceritakan hasil perbincangannya di sekolah. Sang istri hanya bisa menangis. Sebagai seorang ibu, ia merasa malu jika anaknya menjadi gunjingan para tetangga karena tidak naik kelas. Nurdin pun tergugu. Setelan beberapa kali menghembuskan asap rokoknya, Nurdin berkata, "Tenang Bunda, pasti ada jalan keluarnya."
"Maksud Ayah?" Tanya sang istri.
"Mudah-mudahan Allah memberikan jalan keluar bagi keluarga kita," jawab Nurdin dengan nada berat.
"Amin," jawab sang istri dengan nada sendu.
Waktu terus berlalu, saat ujian kenaikan kelas pun semakin mendekat. Walau tidak diperlihatkan di depan keluarganya, namun sebagai istri, Anggraini sadar betapa sang suami sedang mengalami tekanan batin yang begitu hebat.
Melihat itu, Anggraini pun berkata dengan lirih, "Sudahlah Ayah, serahkan semuanya kepada Allah. Yang pasti, sebagai orang tua kita sudah mendidiknya dengan baik."
"Ufhhh," hanya itu yang keluar dari mulut Nurdin. Kembali ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Pada saat itulah, berkelebat bayangan sang paman yang sudah lama tidak bertemu.
"Ah... bagaimana kalau ayah pulang kampung barang satu dua hari," kata Nurdin dengan wajah yang mulai sumringah.
"Maksud Ayah?" Tanya sang istri agak terkejut.
"Jujur Bunda, ayah mau menemui Mang Nunung. Siapa tahu beliau bisa memberikan jalan keluar," jawab Nurdin penuh semangat.
"Dokter sudah, jadi tidak ada salahnya jika kita berusaha dengan doa," imbuhnya lagi.
"Kalau itu maksud Ayah, silakan saja. Bunda hanya berharap, mudah-mudahan Mang Nunung mau membantu kita," sahut sang istri, "Kalau begitu, lebih cepat lebih baik," tambahnya cepat.
"Baik, kalau begitu besok pagi-pagi Ayah berangkat. Doakan semuanya berjalan lancar," kata Nurdin mantap.
Esoknya, usai salat Subuh Nurdin pun berangkat menuju ke kampung halamannya, Tasikmalaya. Singkat kata, menjelang sore ia sudah tiba di depan rumah sang paman. Setelah saling menanyakan kesehatan masing-masing, sang paman mengajak Nurdin masuk ke rumah. Keduanya langsung terlibat dalam pembicaraan yang hangat. Sang bibi yang tahu bahwa kemenakannya datang langsung membuatkan kopi dan menggoreng pisang.
"Ini kesukaanmu, ayo cicipi," demikian ujar sang bibi sambil meletakkan dua gelas kopi dan sepiring goreng pisang panas.
"Terima kasih Bi," sahut Nurdin sambil menghirup kopinya.
"Silakan lanjutkan, bibi meneruskan pekerjaan di dapur," kata sang bibi sambil berjalan masuk.
"Jangan repot-repot Bi," kata Nurdin sambil tertawa.
"Ih... kamu, belum berubah," sahut bibinya dari dalam.
Setelah dirasa cukup, Nurdin pun menceritakan permasalahannya tentang Azizah kepada Mang Nunung. Tak ada komentar sama sekali. Setelah terdiam beberapa saat, terdengar suara Mang Nunung,
"Mamang hanya punya mantra 'jangjawokan' warisan dari karuhun kita. Kalau Nurdin mau mengamalkan selama empat puluh satu malam berturut-turut tanpa batal, silakan saja."
"Caranya?" Tanya Nurdin penasaran.
"Siapkan air minum, bisa dalam botol, bisa dalam gelas atau kendi. Tiap tengah malam, akan lebih baik selesai mendirikan sholat Hajat, bacakan mantra itu tiga kali. Tiap kali membaca tahan napas dan kemudian tiupkan. Lakukan selama empat putuh satu malam, sudah itu baru minumkan kepada Azizah," papar Mang Nunung panjang lebar.
"Mantranya panjang Mang?" Tanya Nurdin.
"Kebetulan Mamang sudah menyalin. Kalau Nurdin mau mengamalkan, silakan saja," jawab Mang Nurdin sambil berjalan masuk ke kamarnya.
Tak lama kemudian, Mang Nurdin keluar sambil menyerahkan sebuah amplop putih panjang, "Mantra dan tata caranya sudah mamang tuliskan dan ada di dalam amplop ini," katanya.
"Saya terima Mang, doakan agar saya mampu mengamalkannya sampai selesai," kata Nurdin sambil menerima amplop tersebut.
Kini keduanya kembali terlibat dalam pembicaraan yang hangat. Dan lepas Maghrib seusai makan malam, Nurdin pun mohon diri untuk kembali ke Jakarta.
Di rumah, Nurdin menceritakan pertemuannya dengan Mang Nunung. Sang istri pun mengangguk tanda mengerti dan segera menyiapkan segala sesuatunya. Malamnya usai mendirikan sholat Hajat, Nurdin mulai mengamalkan mantra untuk belajar atau untuk mencerahkan pikiran yang berbunyi seperti berikut:
Hujud bungbang,
Nu hurung dina jajantung,
Nu ruhay dina kalilipa,
Remet meteng dina angen,
Bray padang,
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula,
Bray padang,
Bray caang,
Caangna salawasna,
Lawasna saumur Kula.
Ia membaca dengan menahan napas. Tiap satu kali, Nurdin meniup air yang sudah disediakan istrinya. Lepas tiga kali membaca, maka Nurdin pun berangkat tidur.
Godaan datang pada malam ke tiga puluh. Entah kenapa, sejak sore Nurdin merasa tidak enak badan, bahkan matanya seolah enggan untuk membuka. Rasa kantuk itu dirasakan demikian kuat menyerangnya. Beruntung sang istri selalu mengingatkan agar dirinya harus membaca amalan tersebut tanpa putus selama empat puluh satu malam. Anehnya tiap usai membaca, Nurdin pun kembali segar seperti semula.
Menjelang malam ke empat puluh satu, godaan pun kian menjadi-jadi. Tak hanya rasa kantuk dan badan yang terasa lunglai, kini Nurdin jadi temperamental. Melihat ulah Nurdin yang aneh, sang istri bahkan hampir-hampir tak kuat menahan emosinya. la hanya bisa mengusap dada sambil menarik napas panjang....
Anggraeni hanya bisa menangis sedih. Ia tak pernah menyangka, begitu berat godaan dan cobaan yang harus dialami. Ketika hal itu diceritakan pada Mang Nunung, sang paman pun berkata, "Itu hal biasa, karena si malas, si bodoh, dan si pelupa, pasti akan melawan karena mereka mau disingkirkan oleh suamimu. Jadi, Neng harus sabar dan selalu tawakal kepada Allah. Semoga Nurdin mampu menuntaskan amalannya yang kurang semalam lagi.
"Baik Mang," hanya itu yang keluar dari mulut Anggraeni.
Pada hari ke empat puluh satu, sebelum berangkat ke sekolah, Anggraeni meminta Azizah untuk meminum air tersebut. Boleh dikata, hari itu tak ada yang istimewa.
Pada hari ketiga, semua teman-teman Azizah pun dibuat kagum. Betapa tidak? Azizah yang selama ini dikenal sebagai siswa yang tergolong kurang cerdas, hari itu ia mampu menjawab pertanyaan dan beragam soal yang diberikan oleh gurunya.
"Luar biasa," demikian desis sang guru. Sementara teman-temannya hanya bertanya, "Kamu les sama siapa?"
Azizah hanya tersenyum. Sebab ia tidak merasakan ada suatu perubahan yang terjadi pada dirinya. Tetapi yang pasti, sejak itu Nurdin dan istrinya bisa tersenyum karena tidak pernah lagi mendengar gunjingan tentang anak sulung kesayangannya.