Misteri Meriam Beranak
Misteri Meriam Beranak - Dimulai dari kepercayaan animisme dan dinamisme, sering disebut kepercayaan Kabuyudan. Dimana seorang buyut, akuwu, dan pemimpin masyarakat dilahirkan dari alam. Seperti Putri Karang Melenu yang dikisahkan kelahirannya dari dasar samudera yang diangkat seekor naga laut di kepalanya.
Di situ ada seekor Lembu yang disebut Lembu Suana. Lehernya berkalung Gong Keramat yang bernama Raden Galuh. Di dalam Gong keramat inilah terdapat bayi perempuan yang dikenal dengan nama Putri Karang Melenu. la akhirnya dinikahi Dewa Agung Raja Imbut.
Ditilik dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa perkawinan mereka ini adalah perkawinan politik kepercayaan Animisme/Dinamisme dengan Hindu. Perkawinan raja pendatang yang beragama Hindu, dengan putri penguasa daerah yang masih memeluk agama Kabuyudan.
Tentunya ini bertujuan untuk mentasbihkan posisi raja agar semakin mantap dan diakui di kalangan rakyatnya. Nyatanya ini berhasil, legenda ini begitu menghipnotis hingga sekarang.
Konsep Dewa Raja; pengkultusan seorang raja binathara (raja agung) yang mengukuhkan bahwa raja adalah keturunan dewa. Seperti ken Arok, yang dalam Serat Pararaton, ia mentasbihkan dirinya sebagai putra Dewa Brahma. Hal itu ketika kerajaan masih dinaungi kepercayaan Hindu.
Padahal dari beberapa sumber, Ken Arok sebenarnya anak hasil 'paksa' Akuwu Tunggul Ametung yang suka mengumbar birahi. Ia mengaku titisan Dewa Brahma. Akhirnya, ditumbangkan sendiri oleh putra 'embu peteng'-nya sendiri yang menaruh dendam kesumat. Kalau di Pasundan ada kisah Raden Ciung Wanara.
Begitu pengaruh Islam masuk, maka para raja untuk mengukuhkan tahtanya mencari garis unggul sebagai leluhur. Maka dimulailah kisah seperti yang tertuang dalam kitab Paramayoga yang disempurnakan oleh Pujangga Besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabehi Ronggowarsito, bahwa dari Nabi Adam as; menurunkan para Dewa dan Nabi, hingga menurun pada raja-raja tanah Jawa.
Abad ketika pengaruh kekeramatan Raja mulai menipis, karena kalah berpolitik dengan bangsa kulit putih yang datang ke Nusantara, maka para raja mencari pengkultusan baru. Raja Jawa, ketika itu Mataram, sedang berkembang di zaman Panembahan Senopati, hingga mencapai zaman keemasan dibawah cucunya Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Namun Mataram tersingkir di perairan Laut Utara. Maka untuk menaikkan citra raja agar tetap dikeramatkan, dicarilah metode yang pas untuk itu. Oleh penasehat agung Mataram, Ki Juru Mertani (Pangeran Mondoroko) yang memang sangat cerdik, laut Selatan yang ganas dan tak tersentuh oleh kapal-kapal kompeni, harus segera ditaklukkan terlebih dahulu.
Maka diciptakan legenda penguasa Laut Kidul adalah per-EMPU-an (ahli kelautan) yang akhirnya bertekuk lutut di bawah kaki Panembahan Senopati. Bersedia mengayomi Mataram sebagai pelindung, dengan cara dipikat tali Asmara.
Bahkan agar mitos ini tetap berlangsung, keturunan Panembahan Senopati yang jadi raja Jawa (Mataram) adalah suaminya. Hebat sekali pemikiran Ki Juru Mertani di zaman itu, sebagai politikus brilian.
Dari situlan muncul legenda Kanjeng Ratu Kidul dan Nyai Roro Kidul, yang hingga kini kehadirannya sangat dipercaya ada. Dengan cara apapun mitos ini mau dihapus, hingga detik ini tak berhasil, gagal total.
Apalagi legenda ini sepertinya diperkuat oleh pihak keraton dan cuap-cuap para pelaku spiritual tentang keberadaan Ratu Putri penguasa Laut kidul dengan berbagai versi.
Pro dan Kontra, negatif dan positif, pembahasan tentang Sang Ratu Putri ini, justru akan semakin memperkokoh keberadaannya di dunia antah berantah memasuki jagad kenyataan. Akhirnya 'dia' diyakini "ada" dari asal muasal di-"ada-ada"-kan.
Juga ketika Mataram dua kali gagal merebut Batavia, karena banyak pasukannya yang diporak-porandakan oleh senjata canggih Belanda kala itu: Meriam.
Untuk menguatkan kepercayaan prajuritnya, maka diciptakan senjata yang meniru Meriam Belanda, tapi dengan ukuran sangat besar. Meriam itu diberi nama Kiai Sapujagad (Jawa: membersihkan Jagad/musuh) dan juga dikenal dengan nama Kiai Pancawara, yang sekarang disimpan di depan Keraton Kasunanan Surakarta.
Konon karena teknologi zaman itu belum maju, maka meriam itu tak bisa digunakan. Maka muncul mitos, jika ada raja yang bisa "mbutut bolongane" (melubangi) meriam Kiai Pancawara ini akan menjadi Ratu Lelananging Jagad.
Karena waktu mau digunakan di Geger Pecinan Kartosuro, meriam raksasa ini mejen (tak mau bunyi). Dan waktu Paku Buwono IV dalam Babad Pakepung, katanya bisa "mbutul bolongane" meriam Kiai Sapujagad ini, tapi kenapa ke-6 abdi kinasihnya, para Guru Santri itu diserahkan Kompeni?
Di Siti Hinggil Keraton Kasunanan Surokarto Hadiningrat, ada meriam yang sangat di keramatkan. Ia dianggap berkelamin 'wanita' dan diberi nama Nyai Setomi.
Konon, ia penjelmaan dari sepasang suami-istri Patih Haryo Setomo dan istrinya Nyai Setomi. Ia berubah menjadi meriam karena kerajaannya, Segaluh, dikepung musuh dari timur di bawah kepemimpinan Prabu Banjaransari.
Meski akhirnya kalah total, bahkan junjungannya akhirnya diperistri olen Prabu Banjaransari. Kesetiaan Kyai Setomo dan Nyai Setomi dijadikan pusaka kerajaan Segaluh di bawah kepemimpinan Prabu Banjaransari.
Akhirnya pusaka itu dijadikan pusaka kerajaan turun-temurun para raja berikutnya, hingga jatuh ke pemerintahan Mataram Kerta di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Konon, sewaktu Sultan Agung mengirim pasukan kedua untuk menaklukkan Batavia, meriam Kyai Setomo dan Nyai Setomi diikut sertakan.
Sayang penyerangan kedua Mataram di bawah Senopati Perang Pangeran Tumenggung Mandurorejo, cucu Ki Juru Mertani ini mengalami kegagalan lagi.
Bahkan meriam Kyai Setomo tertinggal dan diambil olen Kompeni di Batavia, yang sekarang kita kenal dengan nama Meriam Si Jagur. Meriam Nyai Setomi dibawa pulang ke Mataram. Konon Meriam Nyai Setomi ini ketika berpisah dengan suaminya Kyai Setomo, sering menangis. Untuk menutupi itu dibuatlah "krobongan" agar tak ada yang melihat Nyai Setomi menangis.
Dari buku kepustakaan sejarah, ditemukan keterangan bahwa meriam yang diberi nama Nyai Setomi ini adalah merupakan meriam rampasan pertama Mataram dari Kompeni Belanda.
Untuk mengenang peristiwa itu dan meluapkan kegembiraan kemenangan tersebut, meriam itu akhirnya dijadikan pusaka kerajaan dan diberi nama Nyai Setomi dengan atribut segala legenda kekeramatannya.
Seperti juga pusaka tombak prajurit Mataram Yogyakarta, yang berhasil membunuh Kapten Klerck. Oleh Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I) dijadikan pusaka kerajaan yang diberi nama Kanjeng Kyai Klerek (dari kata: Klerck).
Meriam Beranak
Kerajaan Kotawaringin berdiri di tepi Sungai Lumandau. Kerajaan ini di bawah kepemimpinan Pangeran Adipati Antakusuma dari Banjar. Ia mempunyai putri yang jelita bernama Putri Lanting.
Suatu hari ia bertemu utusan Raja Demak Bintara yang bernama Kiai Gede Demak yang sedang berusaha mengembangkan syiar Islam di Tanah Borneo. Kebetulan mereka berdua cocok, kemudian Kerajaan Kotawaringin dipindah ke daratan.
Bersamaan itu datang Kompeni yang membuat Benteng pertahanan di Pangkalan Bun. Hal ini membuat marah Pangeran Antakusuma, dan persiapan perang dilakukan. Tapi raja lupa dengan pusaka kerajaan sebuah meriam kebanggaan kerajaan Kotawaringin yang ukuran panjangnya 1,5 m dengan garis tengah 20 cm, bahkan tersimpan rapat di bangsal.
Kesibukan raja dalam mempersiapkan perang, hingga beliau lupa akan meriam pusaka leluhurnya. Saat istirahat, Pangeran Adipati Antakusuma ingat akan pusaka meriamnya setelah berbulan-bulan tak dirawat.
Saat dikeluarkan dari bangsal, raja sangat terkejut karena ada meriam kecil di samping meriam pusaka kerajaan. Raja menanyakan pengurus bangsal, tapi tidak ada yang tahu siapa yang meletakkan meriam kecil itu.
Saat raja tertidur, ia bermimpi didatangi khodam pusaka meriam yang mengatakan bahwa kedatangan meriam kecil itu bukan ulah pengurus bangsal (gedong pusaka), melainkan meriam besar itu telah beranak, dan raja harus membungkusnya dengan kain kuning.
Penemuan Meriam Beranak Keraton Sambas
Meriam Kecil itu harus selalu diletakkan di samping meriam besar. Kain kuning memiliki makna kesaktian, keagungan, dan kesucian. Sejak itu raja memberi narna Meriam Beranak.
Ketika Belanda berhasil menguasai kota praja, meriam Kecil dibawa ke Pangkalan Bun untuk membuktikan bahwa cerita itu takhayul belaka. Dan saat di markas, peti dibuka dan meriam itu tak ada. Hanya kotak kosong belaka. Ketika diselidiki, meriam kecil sudah ada di samping Meriam Beranak (besar).
Penasaran, Belanda mengulangi membawa meriam kecil dari Kotawaringin ke Pangkalan Bun dengan pengawalan khusus. Dalam perjalanan selalu dicek. Saat dibuka, kotak kosong lagi. Dikira ada yang mencuri, seluruh geladak kapal diobrak-abrik, tak ketemu juga.
Kapal Belanda itu kembali ke Kotawaringin. Luar biasa, ternyata meriam itu kembali lagi di samping Meriam Beranak. Orang-orang Belanda terperanjat. Hingga sekarang Meriam Beranak itu masih berdampingan dan tersimpan dengan sangat terawat di Museum Kerajaan Kotawaringin di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Pusaka kerajaan yang berupa meriam bisa bertambah sendiri berasal dari Kerajaan Sambas. Bermula dari Raden Sulaiman, putra Raja tengah yang berasal dari Negeri Berunai (Brunai Darussalam; sekarang), kawin dengan Putri Bungsu, anak Raja Ratu Sepudak di Kota Lama.
Karena intrik politik Raden Sulaiman dengan putra Ratu Sepudak, maka Raden Sulaiman hijrah ke Kota Bangun, mencari daerah baru sekitar abad 16 M. Di Kota Bangun ini, dengan dibantu para Panglima yang disebut Bantilan Tujuh Bersahabat, menuju terus ke hulu Sungai Sambas Kecil dan sampai di Desa Mensemat.
Tahun 1648 M, Raden Sulaiman mendirikan Kota Bandir. Tahun 1651 Raden Sulaiman hijrah ke Sungai Teberau, lalu menempati daerah kota Lubuk Madung (sekarang Desa Lubuk Legak), wilayah Desa Lubuk Dagang, Kecamatan Sambas.
Di Kota Lubuk Madung Raden Sulaiman dilantik menjadi Sultan I dengan gelar Sultan Muhammad Safiuddin I (20 Agustus 1652M / 10 Dzulhijjah 1040H). Pusat pemerintahan dipindah lagi di pertemuan 3 buah sungai yaitu Sungai Sambas kecil, Sungai Teberau dan Sungai Subah, yang dikenal Muara Ulakkan, yang dikenal dengan nama Kerajaan Alwatzikhoebillah Sambas.
Foto Istana Alwatzikhoebillah masa kini
Di gedong pusaka, ada sebuah meja bundar berdaun batu marmer peninggalan kerajaan Sambas, yang di atasnya terletak tempat tidur berdinding kaca diselimuti kelambu kuning, tempat menyimpan 7 buah meriam kecil yang diistilahkan dengan "Pusaka Hasil Pertapaan Kerajaan Sambas".
Meriam-meriam kecil itu dibungkus seperti layaknya bayi. Benda-benda kuno itu merupakan peninggalan Raden Sulaiman (Sultan Muhammad Safiuddin), hadiah dari mertuanya Ratu Sepudak, berupa 3 meriam masing-masing bernama; Raden Mas, Raden Putri, dan Raden Sambir.
Anehnya, masih memiliki 4 saudara yang berupa meriam kecil juga. Keempat pusaka meriam kecil itu datang dengan sendirinya, masing-masing bernama: Raden Pajang, Ratu kilat, Pangeran Pajajaran dan Pangtima Guntur.
Banyak yang berkeyakinan, bahwa barang-barang itu sewaktu-waktu dimasuki roh halus dimana kadang-kadang dapat menghilangkan diri dan sewaktu-waktu berkumpul kembali.
Memang legenda kebanyakan memiliki makna yang tersirat. Bisa jadi ditilik dari nama-nama meriam itu, Kerajaan Sambas dulu sudah menjalin kerja sama dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, seperti Kerajaan Pajajaran hingga Kerajaan Pajang.
Hubungan yang erat itu diibaratkan berkumpulnya meriam-meriam tersebut dalam satu ranjang. Mungkin saja begitu.