Pesanggrahan Pracimoharjo, Tempat Ritual Anak Muda
Pesanggrahan Pracimoharjo adalah salah satu peninggalan dari Raja Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono X dianggap warga masih keramat. Tempat peristirahatan yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Pracimoharjo, Desa Paras, Kecamatan Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah itu masih utuh hingga saat ini.
Banyak bagian dari Pesanggrahan Pracimoharjo yang masih bisa digunakan baik oleh kerabat keraton atau rmasyarakat umum. Bagi masyarakat umum, tempat ini sering digunakan untuk wisata spiritual. Salah satunya adalah Sanggar Pamenengan yang terletak di tengah kompleks pesanggrahan. Di sanggar tersebut banyak masyarakat yang masuk dengan tujuan untuk berdoa.
Uniknya, tak hanya kalangan orang tua atau dewasa saja yang melakukannya. Kalangan berumur itu, secara umum biasanya memang identik dengan ritual spiritual seperti itu. Namun di sanggar ini, malahan banyak kaum muda yang melakukannya.
"Pada hari Sabtu dan Minggu banyak remaja atau pemuda yang minta ijin untuk masuk sanggar Pemenengan itu," cerita Pak Mulyanto (72), seorang abdi dalem Keraton Surakarta yang dipercaya menjaga kompleks Pesanggrahan Pracimaharjo tersebut.
Pada hari-hari tersebut, banyak rombongan pemuda yang datang ke lokasi. Sebagian penasaran dengan cerita, atau isu seputar aura gaib dari bangunan sanggar. Namun sebagian besar lagi tentu saja sudah terbiasa dengan ritual di dalamnya. Itulah alasan, mengapa mereka tidak datang pada hari keramat seperti Malam Jumat Kliwon, Malam Jumat Legi, ataupun bulan Suro.
"Bahkan tamu yang muda-muda itu, biasanya hanya berada di dalam sanggar selama durasi waktu yang terhitung sangat pendek," jelas lelaki asli kelahiran Ampel, Boyolali ini.
Jika orang-orang tua seringkali melakukan ritual semacam itu hingga berjam-jam atau biasanya malam hari hingga menjelang pagi hari. Bahkan bagi yang sudah terbiasa lelaku seperti itu seringkali malah sampai beberapa hari tanpa makan dan minum.
Namun di sanggar tersebut kalangan anak muda cukup hanya beberapa menit, bahkan paling banter hanya satu jam saja sudah dirasa cukup. Waktunyapun juga tak perlu malam hari. Pagi hari atau siangpun juga bukan masalah.
"Meskipun siang hari, suasana dalam sanggar memang hening, karena begitu tamu masuk semua pintu sanggar ditutup rapat sekali," lanjut suami Partiah ini.
Saking rapatnya, tak ada cahaya sedikitpun yang bisa masuk ke dalam sanggar ini. Lantas mengapa para anak muda tertarik untuk melakukan ritual di tempat itu?
Ternyata tempat tersebut cukup dikenal sebagai ajang berdoa, khususnya bagi pelaku ritual yang berstatus masih sekolah atau kuliah. Mereka datang untuk memohon agar sekolah atau kuliah mereka diberi kelancaran. Tak heran jika yang datang kebanyakan usia sekolah atau mahasiswa.
"Namun jika sudah malam hari, yang datang memang banyak dari kalangan orang tua saja," akunya lagi.
Para pelaku anak muda ini, di siang hari kebanyakan memohon hal-hal yang berkaitan dengan kelancaran belajar mereka. Misalnya memohon agar nilai-nilainya bagus dalam setiap mata pelajaran atau mata kuliah tertentu. Juga memohon agar dalam setiap ujian sekolah atau kuliah mereka bisa lulus dengan memuaskan.
Bagi mahasiswa memohon agar gelar sarjana bisa cepat diraih, atau bisa lancar dalam setiap menyelesaikan tugas seperti skripsi, tesis, tugas akhir, dan lain-lain.
Entah darimana kebiasaan itu muncul. Namun menurut penjaga lokasi, saat dulu tempat ini masih aktif dipakai oleh keluarga Paku Buwono X, banyak putra-putri keraton yang juga ikut tinggal atau berkunjung di tempat ini. Nah putra-putri keraton di masa dulu initah sering disuruh sang raja untuk Sering berdoa di sanggar ini. Karena mereka masih muda-muda, tentu saja permohonan doanya menyesuaikan pada hal-hal yang pragmatis seperti kelancaran belajar, dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah anak muda.
"Malahan banyak juga anak-anak muda yang masih jomblo mengharap agar cepat diberi pacar atau jodoh ideal sesuai keinginannya,” ujarnya.
Maka hingga sekarang, sanggar tersebut masih sering dipakai untuk ber-ritual khas anak muda. Bedanya jika dulu dipakai kerabat keraton, sekarang dipakai oleh masyarakat umum. Tentu saja dengan seijin sang panjaga pesanggrahan. Meskipun begitu, di saat-saat tertentu, kerabat keraton Surakarta juga Sering mengunjungi tempat ini.
Sementara masyarakat umum yang mengunjungi datang dari berbagai wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Bahkan ada rombongan dari Kalimantan yang datang ke lokasi secara berkala untuk beritual.
Bagi pelaku ritual, saat berada di lokasi biasanya sering ada kemungkinan mendapat petunjuk gaib. Yaitu berupa kemunculan sosok bayangan dari roh Sinuwun Paku Buwono X. Petunjuk gaib lain sering pula muncul sosok dari tokoh penguasa laut selatan yaitu Nyi Roro Kidul. Beberapa lagi mengaku sering melihat sosok pria yang penampilannya mirip-mirip sosok Sunan atau anggota Wali Songo - yang dikenal sebagai penyiar dakwah islam di jaman dulu.
"Selain sebagai tempat istirahat, memang di sanggar itu, dulu Sinuwun sering melakukan sembahyang/sholat," lanjutnya.
Mungkin juga dulu ada komunikasi gaib antara sinuwun dengan para Sunan atau roh leluhur dari Wal Songo. Hingga sampai sekarang aura gaib dari sang Sunan juga masih sering muncul di hadapan para pelaku ritual di Sanggar tersebut. Jika salah satu dari penampakan gaib itu muncul, maka itu pertanda baik bagi pelaku ritual. Biasanya doa mereka akan terkabul setelah itu.
Selain bangunan Sanggar Pemenengan, masih ada sebuah bangunan rumah kuno. Bangunan ini dulunya dipakai sebagai kantor untuk menggaji karyawan atau abdi Galem Keraton. Di depan bangunan ini terdapat batu yang juga dikeramatkan. Batu tersebut bewarna Coklat kerrerahan dan mengkilat.
Aura gaibnya terpancar jelas saat bulan purnama tiba. Batu tersebut mirip pancaran emas seperti puncak tugu Monas waktu malam hari. Batu itu dulunya ditemukan oleh seorang kerabat Keraton. Ia secara tak sengaja menemukannya saat menggali sebuah titik di lokasi untuk mencari harta karun leluhur.
Uniknya tepat di depan batu itu, sering juga dipakai tamu untuk berdoa memohon keinginan. Seringkali terlihat ada sisa-sisa dupa yang masih menyala atau kembang sesaji di depan batu itu. Batu tersebut dikenal dengan nama Batu Prigen.
Ada kesamaan ritual dari masing-masing tamu. Yaitu mereka semua memohon agar kesejahteraan mereka meningkat atau bisa juga diterjemahkan bahwa mereka memohon agar gaji mereka di kantor atau perusahaan mereka bisa naik dengan cepat. Ritual itu mungkin ada kaitannya dengan fungsi bangunan kantor kuno itu di masa lalu. Khusus ritual di Batu Prigen ini, kebanyakan dilakukan di malam hari. Paling ramai saat bulan purnama datang.
Bangunan lain yang mendominasi adalah tebaran Ponten (kolam air mancur atau pemandian). Letaknya berada di hampir semua Sudut lokasi kompleks. Bangunan Sanggar Pamenengan sebenarnya cukup luas dan bisa menampung sekitar 5O orang sekaligus dalam sekali ritual. Namun jika sedang ramai, banyak tamu yang tidak kebagian tempat. Dan mereka biasanya mencari alternatif lokasi ritual di pinggiran kolam air mancur ini.
Ada sekitar empat Ponten di lokasi. Sama seperti tempat lain, di lokasi Ponten ini juga sering muncul penampakan gaib sebagai tanda baik untuk terwujudnya keinginan mnereka. Malah meskipun sekarang kolam-kolam itu hanya terisi sedikit air, bahkan beberapa di antaranya mengering. Namun saat dipakai ritual, sering muncul penampakan gaib berupa ikan gabus yang sangat besar. Konon ikan itu adalah penunggu gaib dari masing-masing Ponten tersebut.
Bangunan lain adalah sebuah gazebo kuno berupa lantai datar dimana dulu Sang Raja sering duduk-duduk di malam hari beserta kerabat menikmati bulan purnama. Ada beberapa tamu yang juga memilih lokasi ini untuk melakukan ritual, terutama juga saat bulan purnama tiba. Tak heran bangunan yang kini seperti puing reruntuhan itu sering berserakan dupa dan kembang.
Bangunan lainya adalah sebuah sudut tembok pagar di bagian barat. Di bawah tembok benteng atau pagar inilah sering muncul hal-hal atau makhluk gaib yang sangat beragam. Mulai dari penampakan binatang gaib hingga makhluk-makhluk seram yang sulit diberi nama. Konon tempat ini dulunya sering dipakai untuk mengurung makhluk gaib yang dianggap nakal mengganggu kerabat keraton dan warga desa. Namun yang paling terkenal adalah rnitos Ular Besar berkepala Manusia. Konon ular itu sebesar batang pohon kelapa.
"Di tempat pojok tembok itu dulu juga pernah dipakai untuk acara Reality Show tantangan gaib dari stasiun Televisi swasta," Ujar abdi dalem yang tiap bulannya mendapat kekucah (honor gaji) Rp 60 ribu dari pihak keraton ini.
Bangunan lain yang jarang digunakan untuk ritual adalah Tembok untuk menancapkan tiang dan mengibarkan bendera kerajaan. Meskipun demikian banyak ahli teknik sipil ataupun arsitektur yang sering meneliti lokasi ini. Konon jika cuaca Cerah, saat bendera dikibarkan di tiang yang tingginya sekitar 20-an meter ini, kibaran benderanya bisa dilihat dari pusat kota Solo yang jaraknya sekitar 70 km dari lokasi pesanggrahan ini.
Setiap akhir bulan Suro, ada semacam tradisi unik yang diadakan oleh salah seorang tamu yang konon merasa kabul atau merasa bersyukur karena permintaan dan doanya dikabulkan di tempat ini. Tamu yang katanya dari unsur militer ini mengirim satu truk beras serta menyembelih beberapa ekor sapi di lokasi. Beras dan daging sapi itu kemudian dibagi-bagikan pada warga sekitar pesanggrahan.