Sisi Lain Upacara Seren Taun yang Bukan Hanya Perayaan
Sisi Lain Upacara Seren Taun yang Bukan Hanya Perayaan - Banyak sekali tradisi atau adat istiadat yang sudah sirna dari bumi pertiwi akibat dimakan jaman dan juga datangnya kebudayaan baru yang dianggap modern.
Berbekal kekhawatiran itu, ritual Seren Taun terus dilestarikan secara massal dengan melibatkan seluruh penduduk kampung. Menyimpan padi di lumbung adalah simbolisasi untuk menghadapi masa paceklik yang merupakan kearifan lokal yang harus dilestarikan semua pihak.
"Ngadiukeun pare di leuit si jimat, puncak seren taun nan meriah"
Ritual Seren Taun di Kasepuhan Ciptagelar Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi merupakan tradisi penting dan masih dilakukan hingga kini demi meneruskan apa yang telah dilakukan para leluhur.
Upacara yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan panen padi ini hanya ditakukan sekali dalam setahun, yaitu antara bulan Agustus ataupun September. Konon, ritual ini telah digelar sejak tahun 1368.
Pada saat digelarnya ritual ini, seluruh masyarakat adat Kampung Ciptagelar dilibatkan. Pembagian tugas dilakukan berdasarkan kesepakatan. Semua warga menerima tugas itu dengan gembira.
Bagi mereka Seren Taun adalah seperti halnya hari besar keagamaan. Mereka bahu-membahu melaksanakan kegiatan tersebut dengan tahapan yang sudah dibakukan sehingga tidak boleh melenceng.
Hal lain berbeda dengan kegiatan serupa dalam banyak versi seperti bersih desa, sedekah laut dan sebagainya. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar menempatkan padi pada posisi yang sangat penting. Padi bukan hanya sekedar komoditas tetapi merupakan simbol dari kehidupan.
Salah satu yang ditunjukkan adalah dengan adanya tradisi yang tidak membolehkan untuk memperjual-belikan padi. Rata-rata setiap keluarga di Kampung Ciptagelar memiliki lumbung padi yang berjumlah 3 sampai 4. Karena padi yang tidak diperjual- belikan maka tak heran banyak padi yang disimpan di lumbung berusia ratusan tahun.
"Kami tidak bolen memperjual-belikan padi. Di leuit (lumbung) kami ada pada yang sudah berumur 100 tahun," Ujar Aki Dai, salah seorang tetua Kampung Ciptagelar.
Ayunan alu yang dipukulkan berulang-ulang kedalam lesung oleh beberapa perempuan di alun-alun pagi hari itu, pertanda dimulainya acara prosesi Seren Taun di Kampung Ciptagelar yang ke 646 yang jatuh pada bulan 24 Agustus 2014 lalu. Sementara Seren Taun sebelumnya dilaksanakan pada September tahun 2013.
Iring-iringan yang terdiri mulai dari baris kolot, dayang-dayang, rengkong, angklung, hingga debus serta rombongan yang membawa padi dan hasil pertanian lainnya mulai memasuki alun-alun.
Tampak sang Pemimpin Kasepuhan Abah Ugi dan sang istri duduk di bagian depan teras Imah Gede didampingi oteh beberapa pejabat kampung.
Sementara itu masyarakat setempat telah berbaur semenjak pagi dengan para tamu yang berasal dari luar Kampung hingga dari berbagai kota seperti Bogor, Jakarta, Bandung bahkan hingga Semarang dan Surabaya. Mereka tampak antusias melihat jalannya proses ritual tersebut.
"Sangat khidmat dan iklas. Mereka benar-benar menghayati prosesi itu sebagai bagian dari kewajiban hidup," ujar Ranto (37 tahun) yang mengaku berasal dari Semarang.
Setelah beberapa acara pertunjukan untuk menghibur para pengunjung ditampilkan, maka tibalah saatnya memasuki puncak acara. Padi yang dibawa tadi disiapkan untuk prosesi Ngadiukeun Pare di Leuit Si Jimat sebagai puncak dari ritual Seren Taun. Leuit berarti lumbung dalam bahasa Sunda.
Dari Imah Gede dengan dibentengi oleh barisan sepuh, Pemimpin Kasepuhan Ciptagelar yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi didampingi istrinya Emak Alit Destri Dwi Delianti menuju Leuit Si Jimat.
Setelah doa-doa dipanjatkan yang intinya restu dari alam semesta dan dan juga pada leluhur yang telah menjaga Ciptagelar, satu persatu Sang Pemimpin dan istrinya masuk ke dalam leuit untuk secara simbolis menyimpan padi di Leuit Si Jimat tadi.
Suasana pun tampak khidmat selama prosesi berlangsung. Setelah keluar dari Leuit Si Jimat, Abah Ugi dan istri pun kembali duduk di teras imah Gede.
Dalam acara Seren Taun, para tamu yang datang di jamu bak tamu istimewa. Tak ada habis-habisnya, berbagai makanan dihidangkan dari yang utama, panganan aneka kue buatan setempat hingga minuman disajikan. Terbayang betapa sibuknya para ibu yang bertugas di belakang dapur sana dan juga petugas yang melayani tamu.
Untuk menghibur masyarakat dan tamu yang hadir sepanjang rangkaian acara Seren Taun, setiap malamnya dihadirkan acara hiburan di beberapa panggung berbeda. Acara hiburan tersebut mencakup pementasan kesenian tradisional seperti golek, angklung, jipeng, topeng, dan juga tari-tarian.
Kampung Ciptagelar yang berada di lembah pegunungan Halimun ini secara administratif termasuk di wilayah Kecamatan Cisolok. Sebagai pemimpin adat, Abah Ugi menjadi pimpinan dari sekitar 568 kampung disekitar Pegunungan Halimun yang disebut masyarakat adat Banten Kidul dan secara turun-temurun tergabung dalam kekerabatan kesatuan adat Kasepuhan Ciptagelar.
Satu hal yang tampak jelas bahwa para leluhur Kampung yang berada di ketinggian sekitar 1200 meter diatas permukaan laut ini selain kearifan lokal pun telah meninggalkan ilmu tentang kemandirian ketahanan pangan pada para keturunannya.